MBG Belum Lepas dari Persoalan, Mekanisme Distribusi Dinilai Bermasalah

Persoalan besar justru muncul pada pelaksanaan di lapangan. Agus menegaskan, kelemahan utama MBG terletak pada mekanisme distribusi.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
KOMPAS.com/Egadia Birru
KASUS KERACUNAN MASSAL : Ilustrasi menu makan bergizi gratis. 

Selain itu, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga perputaran ekonomi lebih sehat. Dengan demikian, dana Rp 15.000 per porsi dapat diterima utuh oleh sekolah, bukan menyusut menjadi Rp 7.000 seperti kondisi saat ini. Alternatif lain, dana bisa diberikan langsung kepada siswa untuk dikelola bersama orang tua.

“Jika sampai satu bulan anak tidak membawa bekal bisa dipanggil orang tuanya, dan jika masih terus bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktik pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif,” tuturnya.

Agus menilai, panjangnya rantai distribusi MBG saat ini justru menguntungkan pengusaha besar yang mampu masuk ke dalam skema program. 

“Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi ‘Makar Bergiri Gratis’ bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara gratis,” ujarnya.

Dengan asumsi margin Rp 2.000 per porsi, katanya, satu penyedia dengan 3.000 porsi bisa mengantongi Rp 150 juta per bulan atau Rp 1,8 miliar per tahun. Secara nasional, margin tersebut bisa mencapai Rp 33,3 triliun per tahun.

“Saya kira masih belum terlambat. Ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” pungkas Agus.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved