Gelar Rapat Dengar Pendapat Umum, DPRD Klaten Bahas Empat Raperda

Rapat dengar pendapat itu membahas empat rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang sedang dibahas DPRD Kabupaten Klaten. 

Penulis: Dewi Rukmini | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Dewi Rukmini
DPRD Kabupaten Klaten menggelar rapat dengar pendapat umum (public hearing) membahas empat raperda di Ruang Rapat Paripurna DPRD Klaten, Senin (8/9/2025). 

Dari 35 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, dikatakan baru ada 17 daerah yang memiliki Perda soal Ekonomi Kreatif. 

"Nah di Klaten kan karena sudah masuk kota ekonomi kreatif, tentunya harus kami buatkan payung hukumnya. Agar nanti para pelaku ekonomi dengan konsep ekonomi keahlian atau kreativitas di maayarakat bisa meningkatkan dan menjual produksinya, serta bersaing di lapangan," ujarnya. 

Oleh karena itu, pemerintah daerah harus memfasilitasi dan mendampingi para pelaku ekonomi kreatif agar maju dan berkembang.

Termasuk memberikan kemudahan dan membantu terkait alses perizinan bagi pelaku ekraf yang belum memiliki. 

"Jadi badan hukum ekonomi kreatifnya yang menonjol dalam pembahasan ini," tuturnya. 

Terpisah, Ketua Pansus 8, Dwi Atmaja, memaparkan dalam pembahasan Raperda Pembangunan dan Pengembangan Kepemudaan muncul keprihatinan terkait fenomena kenakalan remaja. Terutama di tingkat desa karena banyak terjadi klitih dan kenakalan remaja lainnya. 

"Terus inginnya hal itu terselesaikan, perlu ada pendampingan. Tadi saya sampaikan siapa yang berkewajian untuk mendampingi. Itulah nanti menjadi bahan pembahasan kami dengan Pansus serta mitra OPD," terang dia. 

Dwi menuturkan secara makro sudah ada gambaran terkait materi pendampingan dalam draf raperda. Namun, memang belum secara spesifik dijelaskan. 

"Jadi nanti dimungkinkan ada pasal spesifik terkait pendampingan itu. Tapi kami belum berani menyimpulkan, karena masih pembahasan," ujar dia. 

Sementara itu, Ketua Pansus 9, Sutarna, menyampaikan perubahan Raperda Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya dibahas karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan temuan obyek diduga cagar budaya ke pemerintah. 

"Salah satu alasan karena masyarakat menganggap kompensasi yang diberikan sangat rendah sekali. Sehingga selama ini masyarakat terpantau masih enggan atau kurang edukasi memasukkan (temuan benda diduga cagar budaya) ke museum," katanya.

Oleh karena itu, dalam perubahan raperda tersebut pihaknya berupaya menetapkan payung hukum agar pemerintah bisa memberikan kompensasi berimbang kepada warga penemu benda diduga cagar budaya.

Sehingga diharapkan masyarakat yang menemukan benda-benda diduga cagar budaya semakin semangat untuk menginventarisir dan melaporkan ke dinas terkait. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved