Jejak Hijau

Perang Hijau Global: Cina Dominan, Indonesia Pemain, Korban, atau Penentu?

Di tengah arus besar itu, Indonesia memiliki modal sumber daya mineral kritis namun masih tertinggal dalam penguasaan teknologi.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Ist
Prof. Ir. Sarjiya (kanan), Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, dalam program Jejak Hijau Tribun Jogja, literasi digital untuk bumi yang berkelanjutan, menelusuri dampak dan menyuarakan harapan. 

TRIBUNJOGJA.COM - Peta persaingan energi bersih kian menyerupai “perang hijau” global. Cina menguasai hulu-hilir teknologi panel surya dan baterai kendaraan listrik, sementara Eropa–Amerika berupaya mengejar.

Di tengah arus besar itu, Indonesia memiliki modal sumber daya mineral kritis namun masih tertinggal dalam penguasaan teknologi.

Demikian garis besar pandangan Prof. Ir. Sarjiya, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, dalam program Jejak Hijau Tribun Jogja, literasi digital untuk bumi yang berkelanjutan, menelusuri dampak dan menyuarakan harapan.

Menurut Prof Sarjiya, komitmen Indonesia terhadap pengendalian perubahan iklim telah ditegaskan sejak era Paris Agreement, dilanjutkan target Net Zero Emission 2060.

Namun, di level implementasi, pertanyaan strategisnya tetap sama. “Posisi Indonesia nanti seperti apa? Pemain, korban, atau penentu?” ujarnya.

Baca juga: MBG Jangan Dipaksakan Serentak, Risiko Bisa Lebih Besar

Ia menyoroti dominasi Tiongkok pada dua simpul kunci: PV surya dan baterai. Kedua teknologi itu menjadi jantung dekarbonisasi kelistrikan dan transportasi.

“Mereka menguasai konversi energi, penyimpanan, hingga integrasi ke sistem. Dominasi ini sifatnya global,” kata Prof Sarjiya.

Indonesia sejatinya bukan tanpa modal. Negeri ini menyimpan nikel, kobalt, tembaga, timah, dan mineral strategis lain yang mendukung industri hijau.

Masalahnya, kemampuan teknologi penambangan, ekstraksi, pemurnian, hingga manufaktur belum memadai. “Kita kuat di sumber daya, tetapi lemah di penguasaan proses,” terangnya.

Kebijakan hilirisasi dinilai langkah maju. Smelter hadir di dalam negeri, memberi nilai tambah dibanding era ekspor ore mentah.

Namun, ia mengingatkan risiko “hilirisasi tanpa kedaulatan teknologi” yang menjadikan Indonesia sekadar lokasi pengolahan awal. “Kalau teknologi dan SDM kunci tetap datang dari luar, kita hanya jadi penonton di rumah sendiri,” tegasnya.

Prof Sarjiya mengusulkan syarat transfer teknologi sebagai prasyarat perizinan, termasuk skema pelibatan perguruan tinggi dan program peningkatan kapasitas SDM lokal dari level operator hingga peneliti.

Tanpa mekanisme wajib, peluang lompatan pengetahuan akan kecil.

Dalam lanskap geopolitik teknologi, posisi tawar tidak ditentukan sumber daya semata, tetapi kapasitas manufaktur dan inovasi.

“Kita perlu kebijakan yang mengikat, bukan sekadar imbauan. Dari izin tambang sampai insentif industri harus memuat kewajiban alih teknologi,” katanya.

Jejak Hijau Tribun Jogja menegaskan, Indonesia hanya akan menjadi penentu bila mampu mengunci tiga hal sekaligus: sumber daya, teknologi, dan pasar.

Di luar itu, kita berisiko menjadi korban perang tarif, embargo, dan standar hijau yang ditetapkan pihak lain.

Dalam jangka pendek, pemerintah diminta memperkuat tata kelola proyek hijau, memprioritaskan kemitraan yang mendatangkan hak kekayaan intelektual, dan mempercepat ekosistem riset-industri.

“Bukan cukup memasang panel, tetapi membangun ekosistem pengetahuan,” tutup Prof Sarjiya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved