Jejak Hijau
Program Makan Bergizi Gratis Baiknya Dimulai dari Sekolah yang Sudah Siap
Ia menyarankan agar program tidak langsung dipaksakan dalam cakupan nasional, melainkan dimulai dari sekolah-sekolah yang sudah siap.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu kebijakan utama Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mulai dijalankan pada 2025.
Tujuan program ini adalah memastikan siswa di seluruh Indonesia memperoleh asupan gizi seimbang untuk mendukung tumbuh kembang dan prestasi belajar mereka.
Meski demikian, Prof. Sri Raharjo dari Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM menilai implementasi MBG perlu dilakukan secara hati-hati.
Ia menyarankan agar program tidak langsung dipaksakan dalam cakupan nasional, melainkan dimulai dari sekolah-sekolah yang sudah siap.
“Banyak sekolah sebenarnya telah memiliki pengalaman pemberian makanan. Mulailah dari yang siap, jumlahnya lebih terkendali, baru ditingkatkan. Dengan begitu, standar teknis bisa dijalankan utuh, bukan kompromistis karena diburu target,” ujarnya dalam program Jejak Hijau Tribun Jogja, literasi digital untuk bumi yang berkelanjutan, menelusuri dampak dan menyuarakan harapan.

Prof. Sri menegaskan, rantai dingin atau cold chain menjadi kunci utama dalam menjaga keamanan pangan. Bahan berprotein tinggi seperti daging, ikan, telur, dan susu memerlukan suhu penyimpanan yang tepat.
“Freezer dan lemari pendingin harus dihitung kapasitasnya sesuai volume harian, bukan skala rumah tangga,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya sinkronisasi antara proses memasak dan waktu penyajian. Menurutnya, penggunaan peralatan kecil untuk mengolah ribuan porsi akan memperpanjang waktu produksi.
“Bila jeda terlalu lama, makanan memasuki zona suhu bahaya. Kapabilitas peralatan harus match dengan target porsi dan jam makan,” jelasnya.
Selain itu, peran pemasok dan tenaga pengolah juga tak bisa diabaikan. Bahan baku, kata Prof. Sri, wajib diserahkan dalam kondisi bersih dan aman, sementara pengolah harus dibekali pelatihan higiene yang memadai.
“Mulai dari cuci tangan, sanitasi alat, kendali silang, hingga pencatatan sederhana seperti log suhu dan waktu. Bukti proses memudahkan penelusuran saat insiden,” tegasnya.
Aspek monitoring gizi juga menjadi perhatian. Karena tujuan utama MBG adalah memperbaiki status gizi anak, maka evaluasi harus dilakukan secara berkala.
“Perlu pengukuran baseline lalu evaluasi per semester atau tahun. Data ini menentukan efektivitas program per wilayah, bukan asumsi,” papar Prof. Sri.
Soal menu, ia menyarankan adanya rotasi dan keberanian menggunakan bahan lokal. Variasi, menurutnya, bukan hanya mencegah kebosanan, tetapi juga menjaga keseimbangan zat gizi.
Namun, pemanfaatan pangan lokal harus didukung audit pasokan agar kontinuitas tetap terjaga.
MBG Perlu Sinkronisasi Pusat-Daerah, UGM: Tanpa Investasi Hulu, Daerah Menanggung Beban Hilir |
![]() |
---|
Program MBG Punya Tujuan Mulia, Tapi Risiko Keracunan Mengintai Jika Pengawasan Lemah |
![]() |
---|
6 Transformasi Sawit Menuju Keberlanjutan Menurut Ahli Pangan UGM |
![]() |
---|
Benarkah Minyak Kelapa Sawit Tidak Sehat? Ini Kata Ahli Pangan |
![]() |
---|
Sawit Paling Produktif, Tapi Butuh Kepatuhan Lingkungan untuk Jadi Kompetitif |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.