FSMR ISI Yogyakarta Bahas Hibriditas Kreatif di Tengah Tantangan AI dan Keaslian Karya

Dari sisi institusi, diskusi berimplikasi langsung pada tuntutan adaptasi kurikulum dan penegakan integritas akademik.

|
Tribunjogja.com/ HANIF SURYO
SEMINAR - Dekan FSMR ISI Yogyakarta, Edial Rusli, menyampaikan sambutan pembukaan dalam Seminar Seni Media Rekam 2025 di Kampus ISI Yogyakarta, Senin (24/11/2025). Dalam kesempatan itu, Edial menekankan pentingnya menjaga kejujuran dan proses kreatif di tengah berkembangnya teknologi kecerdasan buatan dalam praktik seni dan pendidikan. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Fakultas Seni Media Rekam (FSMR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menggelar Seminar Seni Media Rekam 2025 selama dua hari (24—25 November 2025) dengan tema “Hibriditas Kreatif: Integrasi Seni Media Rekam dalam Kolaborasi Multidisiplin untuk Inovasi.” 

Seminar menempatkan kecerdasan buatan (AI), media sosial, dan praktik seni rekam sebagai fokus utama, menimbang peluang perluasan akses berkarya sekaligus tantangan terhadap otoritas keaslian dan etika dalam pendidikan seni.

Seminar yang menghadirkan pembicara dari dalam dan luar institusi ini menyorot dua kutub wacana: AI dan platform digital sebagai alat demokratisasi yang memperluas partisipasi publik, dan di sisi lain sebagai ancaman terhadap praktik tradisional serta standar keaslian karya seni.

Dari sisi institusi, diskusi berimplikasi langsung pada tuntutan adaptasi kurikulum dan penegakan integritas akademik.

Konfir Kabo, pendiri Project Eleven dan kolektor seni, tampil sebagai pembicara kunci dengan paparan berjudul “Eclipse: Embracing The Rise of Artificial Intelligence and The Dawn of a New Age.” 

Konfir memaparkan bahwa perkembangan AI dan media sosial membawa “dua kemungkinan sekaligus: sebagai ancaman bagi praktik tradisional dan sebagai pembuka akses yang luas bagi pelaku seni muda.”

“Apakah AI menjadi media pembaruan atau justru ancaman? Menurut saya, keduanya,” ujar Konfir, yang menggunakan analogi sejarah fotografi untuk menggambarkan dinamika tersebut. 

Ia menekankan bahwa seperti fotografi yang pernah dipandang mengancam pelukis, setiap kemunculan teknologi baru kerap memicu adaptasi dan evolusi dalam bentuk-bentuk seni. 

Salah satu aspek yang ia soroti adalah demokratisasi teknologi: ketersediaan perangkat digital dan platform daring memungkinkan siapa saja — bahkan anak-anak di daerah terpencil — untuk berkarya dan menjangkau audiens global. 

“Dengan AI dan media sosial, siapa saja bisa berkarya—modalnya hanya ponsel dan koneksi internet,” kata Konfir, seraya menegaskan bahwa kemudahan akses ini bukan penurunan nilai seni, melainkan perluasan partisipasi sosial dalam seni.

Baca juga: Kisah Lulusan ISI Yogyakarta Hastin Sholikhah Temukan Ketenangan Berkarya Lewat Kaine Eco Fabric

Dari perspektif akademik, Dosen FSMR ISI Yogyakarta, Dr. Arif Eko Suprihono, M.Hum., menyampaikan materi bertajuk “Creative Hybridization: Collaborative Consciousness, Integration of Recording Media Arts as The Foundation of Innovative Performance.” 

Dr. Arif menegaskan pentingnya integrasi lintas-disiplin sebagai fondasi inovasi dalam praktik seni rekam. Ia mendorong kolaborasi antara seniman, peneliti, dan pelaku praktik dari bidang lain untuk menghasilkan performans dan karya yang relevan dengan perkembangan zaman, serta berharap hasil-hasil riset yang dipaparkan pada sesi paralel dapat menyumbang pada pengembangan ilmu media rekam.

Rutinitas Akademik

Rektor ISI Yogyakarta, Irwandi, mengatakan bahwa seminar merupakan bagian dari rutinitas akademik fakultas untuk merespons dinamika kontemporer.

Menurutnya, pemilihan tema yang menggabungkan pembicara internal dan eksternal serta penyelenggaraan sesi paralel memberi ruang bagi akademisi dan peneliti dari ISI maupun kampus lain memaparkan riset masing-masing.

Isu integritas kreasi dan regulasi dalam praktik visual juga mengemuka dalam paparan Dekan FSMR sebelumnya, Edial Rusli. 

Edial menekankan bahwa meskipun penetrasi AI tidak dapat dibendung, prinsip kejujuran dan orisinalitas harus menjadi landasan dalam pendidikan dan praktik seni.

Ia menyatakan bahwa penggunaan AI hanya dibolehkan sebatas draft dalam konteks pendidikan; proses kreatif utama tetap harus dilakukan oleh mahasiswa. 

“Dalam pendidikan, yang kita jaga adalah proses. AI itu hanya alat tambahan,” ujarnya.

Edial juga mengangkat perubahan batasan ruang publik, mencatat bahwa saat ini aktivitas pemotretan di ruang publik kian memerlukan izin — sebuah perkembangan yang menurutnya berpotensi mengangkat profesi fotografer serta ekosistem bisnis di sekitarnya. 

Namun ia juga mengingatkan risiko pelanggaran seperti plagiasi, yang tetap menjadi persoalan serius di era digital. 

“Dalam berkesenian yang paling penting adalah kejujuran. Ketika tidak jujur, selesai,” tegasnya.

Diskusi selama seminar memperlihatkan konsensus bahwa hibriditas kreatif bukan sekadar tren teknologi, melainkan perubahan struktural yang menuntut gaya kolaboratif baru—mulai dari penguatan literasi digital, revisi kurikulum pendidikan seni, hingga pembentukan kode etik yang mampu mengakomodasi penggunaan AI tanpa mengorbankan keaslian karya. 

Selain pemaparan kunci, acara ini juga menyediakan sesi paralel untuk pemaparan hasil riset akademik, memberi peluang bagi peneliti muda mempresentasikan temuan mereka.

Konfir mengingatkan mahasiswa dan pelaku seni muda agar memanfaatkan teknologi baru tanpa kehilangan kewaspadaan terhadap implikasi etis dan ekonomi dari adopsi teknologi tersebut.

Pesan ini sejalan dengan penekanan fakultas terhadap proses kreatif dan kejujuran akademik.

Seminar dua hari FSMR ISI Yogyakarta ini menggarisbawahi paradigma ganda yakni teknologi membuka peluang jangkauan dan partisipasi yang lebih luas, sementara institusi pendidikan dituntut menyusun mekanisme untuk menjaga integritas proses kreatif dan mengarahkan transformasi kurikulum agar lulusannya siap berkompetisi di ekosistem seni yang semakin hybrid. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved