Kisah Inspiratif

Cerita Tenun Lurik Tradisional Indonesia Mendunia Lewat Galeri LAWE di Bantul

LAWE lahir untuk mempromosikan warisan budaya berupa tenun tradisional sekaligus memberikan ruang kesempatan bagi para penenun perempuan di Indonesia.

|
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
MG Shafira Puti Krisnintya
LAWE INDONESIA: Adinindyah, co-founder LAWE, bersama berbagai produk berbasis tenun tradisional Indonesia milik LAWE di galeri LAWE, Krapyak Wetan, Sewon, Bantul, Rabu (19/11/2025). 

Di sana mereka melakukan pengembangan produk hasil hutan non kayu.

Dyah pun menemukan bahwa tenun termasuk dalam NTFP.

“Selama kita ke daerah gitu, ketemu kelompok-kelompok penenun itu mesti mereka mengeluh. Mereka nggak bisa masarkan, mereka nggak punya (ide) keberlanjutan usahanya itu mau seperti apa,” ucapnya.

Dyah dan tim LAWE saat proses penelitian buku
Dyah bersama tim LAWE dan para penenun Biboki saat proses penelitian buku "Puan Maestro" yang mendokumentasikan tenun dan filosofi tenun Biboki, serta peran perempuan dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Biboki di Biboki, Nusa Tenggara Timur. (LAWE Indonesia)

Sepulang dari sana, mulai muncul pemikiran untuk membantu kelompok penenun Sumba.

Pada saat itu, para penenun hanya menjualkan produk tenun mereka ketika mereka sedang butuh uang saja.

Seringkali mereka menerapkan prinsip 'asal ada yang beli' dan sembarang menjual produk dengan harga yang terlalu murah.

Dyah lantas membagikan kegelisahan hatinya kepada Ita, seniornya yang juga terlibat dalam program NTFP.

Setelah itu, mereka memutuskan untuk menambah pasukan dan mengajak tiga teman perempuan sesama aktivis sosial dan pecinta tenun yaitu Rina, Ani, dan Mita.

Ketiganya berasal dari tiga daerah yang berbeda yaitu Yogyakarta, Lampung, dan Kalimantan.

Baca juga: Pesona Cantik Kain Tenun Sumba Timur: Memahami Makna Pakaian Adat Perempuan

Selama itu, mereka berkesempatan pergi ke beberapa negara di Asia Tenggara.

Di sana mereka melakukan observasi terhadap produk-produk kerajinan warisan budaya yang telah berhasil menemukan pasarnya dan bernilai jual tinggi.

Mereka menemukan bahwa di Indonesia pada masa itu belum banyak yang memproduksi kerajinan tangan dari tenun.

Biasanya tenun hanya digunakan sebagai bahan dasar desainer untuk membuat baju-baju high class.

“Kita tuh inginnya tenun ini nggak cuma bisa jadi konsumsi grup A plus, maksudnya biar bisa lebih memasyarakat itu gimana caranya. Ya sudah terus kami coba, di awal itu kita bikin dulu craft yang kecil-kecil. Biar orang lebih mudah belinya dan lebih sesuai sama pasarnya,” tutur Dyah.

Produk pertama yang dibuat oleh LAWE berupa stationery dengan sampul berupa kain-kain tenun yang sudah dijahit.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved