Berita Jogja Hari Ini
Mengapa Jembatan Pandansimo Berubah Nama Jadi Jembatan Kabanaran? Ini Sejarahnya
Jembatan Pandansimo berubah nama menjadi Jembatan Kabanaran, diresmikan Presiden Prabowo pada hari ini, Rabu (19/11/2025).
Penulis: Alifia Nuralita Rezqiana | Editor: Alifia Nuralita Rezqiana
Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur.
Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas.
Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.
Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron von Hohendorff, mengundurkan diri.
Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut.
Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.
Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalah.
Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa masalah hanya bisa selesai dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian.
Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri, maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim (Tuan Sarip Besar), untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.
Pada 23 September 1754, Gubernur Jawa Utara, Nicholas Hartingh, bertemu dengan Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan itu membuahkan hasil berupa kesepakatan yang dikenal sebagai “Palihan Nagari”.
Hasil kesepakatan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III.
Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian, butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti.
Puncaknya, pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta pun dimulai.
Baca juga: Sejarah Keraton Yogyakarta, Histori Sejak Perjanjian Giyanti 1755 sampai Kemerdekaan RI 1945
Baca juga: Kisah Raja Yogyakarta: Episode Sri Sultan Hamengku Buwono I Pencipta Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Pada hari Kamis Pon, 13 Maret 1755 atau tanggal 29 Jumadilawal 1680 Tahun Jawa (TJ), Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Pertama Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kebijaksanaan dan kearifan Sri Sultan Hamengku Buwono I tertuang dalam Babad Nitik Ngayogya.
Menurut catatan sejarah, Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki kemampuan ilmu tata kota dan arsitektur.
Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk masyarakat.
Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis.
Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur, dan Kali Winongo di sebelah barat.
Di sebelah utara, dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan Pantai Laut Selatan.
Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta.
Tidak hanya tata ruang dan bangunan, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks Keraton Yogyakarta dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis dan spiritual yang tinggi.
Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga membangun kompleks istana air Taman Sari.
Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai "a great builder" yang artinya “pembangun yang hebat”, sejajar dengan Sultan Agung.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar.
Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti:
- Nyawiji (konsentrasi total)
- Greget (semangat jiwa)
- Sengguh (percaya diri)
- Ora mingguh (penuh tanggung jawab)
Konsep-konsep luhur itulah yang menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram.
Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah berikut ini:
Golong gilig manunggaling kawula Gusti
Artinya: hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan.
Hamemayu Hayuning Bawono
Artinya: menjaga kelestarian alam.
Semuanya menjadi pedoman utama karakter Keraton Yogyakarta dan masyarakat yang hidup di Yogyakarta.
Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya:
- Tari Beksan Lawung
- Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya
- Tarian Eteng, dan
- Wayang Purwo
Wafat
Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada 24 Maret 1792 atau tepat pada tanggal 1 Ruwah 1718 TJ.
Beliau meninggal dunia pada usia 74 tahun.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY.
Mengutip Wikipedia Indonesia, selama hidupnya, Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki dua orang permaisuri, yakni:
1. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencana, putri Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Kakek dari pihak ayah adalah Pakubuwana I
2. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten, putri Ki Ageng Drepayuda. Ia juga dikenal sebagai Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau Gusti Kanjeng Ratu Hageng setelah kematian suaminya.
Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki 20 orang selir dan 31 orang anak.
Anak pertama Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah Gusti Raden Mas Intu yang lahir dari GKR Kencana.
Gusti Raden Mas Intu kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra.
Namun, Gusti Raden Mas Intu meninggal sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
Anak kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I lahir dari seorang selir.
Lebih lanjut, anak ketiga Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah Gusti Raden Mas Sundara. Ia lahir dari GKR Kadipaten.
Gusti Raden Mas Sundara inilah yang kemudian naik takhta sebagai Raja Kedua Yogyakarta, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Anak keenam Sri Sultan Hamengku Buwono I, yaitu Bendara Pangeran Harya Natakusuma, diangkat menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam I.
Bendara Pangeran Harya Natakusuma lahir dari seorang selir bernama Bendara Raden Ayu Srenggara. Beliau merupakan putri dari Ki Tumenggung Natayudha, Bupati Kedu.
Itulah kisah tentang Raja Pertama Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I.
(Tribunjogja.com/ALX/ANR)
Jembatan Pandansimo
Jembatan Kabanaran
Peresmian Jembatan Kabanaran
Agung Setyawan
Bupati Kulon Progo
Kulon Progo
Bantul
Keraton Yogyakarta
Kraton Jogja
Sri Sultan Hamengku Buwono I
sejarah
TribunEvergreen
Meaningful
| Operasi Zebra di Yogyakarta Mulai 17-30 November 2025, Pastikan Tidak Langgar 8 Hal Ini |
|
|---|
| Cara Lapor Jika Terjadi Kekerasan Anak dan Perempuan di Yogyakarta, Gratis Bebas Pulsa |
|
|---|
| Kronologi Kasus Dugaan Monopoli BBM oleh Oknum Polairud di Pantai Sadeng Gunungkidul |
|
|---|
| Mengenal Class Action, Cara Menuntut Pemerintah karena Kasus Keracunan MBG |
|
|---|
| Komentar Sri Sultan HB X soal Keracunan MBG di Jogja dan Sanksi untuk SPPG Menurut Undang-Undang |
|
|---|
