Menggugah 'Roh' Srandul, Teater Tradisional khas Yogyakarta yang Lama Tertidur

Srandul, sebuah teater tradisional khas Kota Yogyakarta yang dulu menjadi primadona, kini seakan tertidur, tergerus deru modernisasi.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
Dok.Istimewa
INOVASI SENI - Salah satu aktivitas Program Inovasi Seni Nusantara yang digulirkan akademisi ISI Yogyakarta, di Kampung Bumen, Kotagede, Kota Yogyakarta. 
Ringkasan Berita:
  • Srandul, teater tradisional khas Kota Yogyakarta yang dulu menjadi primadona, kini seakan tertidur dan tergerus deru modernisasi.
  • Para akademisi dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta turun gunung, berkolaborasi langsung dengan warga untuk merevitalisasi Srandul.
  • Kampung Bumen yang berlokasi Kemantren Kotagede dipiluha sebagai lokasi sasaran Program Inovasi Seni Nusantara

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perpaduan bunyi angklung, kendang dan kecrek itu dewasa ini nyaris tidak lagi terdengar di panggung-panggung rakyat. 

Srandul, sebuah teater tradisional khas Kota Yogyakarta yang dulu menjadi primadona, kini seakan tertidur, tergerus deru modernisasi.

Namun, gairah untuk menghidupkan kembali kesenian sarat kearifan lokal itu, tampak menyala kembali di Kampung Bumen, Kotagede.

Para akademisi dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta turun gunung, berkolaborasi langsung dengan warga untuk merevitalisasi Srandul.

​Bukan sekadar obrolan menara gading, langkah-langkah konkret pun diwujudkan melalui Program Inovasi Seni Nusantara (PISN). 

Tahun ini, program tersebut mengusung tema "Revitalisasi Kesenian Tradisional Srandul sebagai Teater Rakyat Bermuatan Kearifan Lokal Yogyakarta."

Pasukan dosen ISI Yogyakarta yang terlibat dalam program pengabdian masyarakat itu diketuai oleh Danang Febriyantoko, S.Sn., M.Ds.

Ia didampingi tiga anggotanya, yakni Martino Dwi Nugroho, S.Sn., M.A.; Daru Tunggul Aji, S.Sn., M.A.; dan Galih Prakasiwi, S.Sn., M.A.

Danang pun tidak memungkiri, sebagai bagian penting dari identitas budaya Yogyakarta, Srandul kini semakin jarang ditampilkan.

Padahal, menurutnya, Srandul merupakan gabungan dari drama, tari, karawitan, humor, dan rekaman denyut nadi kehidupan masyarakat.

"Maka, program ini hadir sebagai upaya menghidupkan kembali Srandul. Seni pertunjukan yang dahulu populer, tapi kian jarang ditampilkan," katanya, Senin (17/11/2025).

Baca juga: Jurus Pemkot Yogyakarta Atasi Pengamen Liar di Malioboro, Sudah Ditata Tapi Masih Banyak yang Ngeyel

Melalui program tersebut, selama beberapa minggu, sudut Kampung Bumen pun bersolek, berubah menjadi sebuah sanggar seni dadakan.

​Para dosen ISI Yogyakarta menyatu dan membaur tanpa jarak, menggugah ingatan, sekaligus memberikan pelatihan intensif kepada warga setempat.

"Kami memandang, upaya revitalisasi ini sangat penting, untuk menjaga keberlanjutan estetiknya teater tradisional Srandul," ujarnya.

Dengan niat luhur merawat identitas, Danang bilang, menghidupkan kembali Srandul tidak bisa dilepaskan dari masyarakat sebagai pemiliknya.

Bak gayung bersambut, antusiasme warga Kampung Bumen untuk ikut terlibat aktif pun menjadi bahan bakar utama dalam perjalanan program.

"Mulai dari pelatihan seni peran, olah tubuh, tari tradisi, hingga teknik vokal dan karawitan. Warga juga dilibatkan penuh dalam pembuatan properti, kostum, serta manajemen produksi pertunjukan," urainya.

Identitas Sosial dan Budaya

Pendekatan partisipatif yang digunakannya tersebut, membuat warga tidak sebatas menjadi objek pelatihan, tetapi lebih sebagai mitra kreatif. 

Hal tersebut, kata Danang, sejalan dengan watak Srandul yang memang tumbuh dari interaksi sosial dan kearifan lokal di tengah masyarakat.

"Menghidupkan kembali Srandul berarti menghidupkan identitas sosial dan budaya masyarakat. Ini bukan sekadar melestarikan seni, tetapi merawat ruang hidup yang menjadi fondasi teater rakyat," jelasnya.

​Diipilihnya Kampung Bumen yang berlokasi Kemantren Kotagede sebagai lokasi sasaran Program Inovasi Seni Nusantara pun bukan tanpa alasan. 

Ia menyebut, lokasi itu dikenal sebagai salah satu kantong budaya yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi dan semangat gotong royong.

"Kehadiran program di Kotagede, sebagai pusat sejarah dan budaya Yogya, jadi momentum penting untuk memperkuat ekosistem seni tradisi di tingkat akar rumput," ucapnya.

Tidak berhenti di panggung, program tersebut juga memperkuat dokumentasi digital, supaya Srandul tidak lekang oleh waktu. 

Rekaman itu, diharapkan dapat meninggalkan sebuah jejak, sebagai sumber pendidikan, serta penelitian bagi generasi-generasi mendatang.

"Melalui sinergi akademisi dan warga, Srandul diharapkan bisa kembali jadi bagian dari denyut kehidupan budaya Yogya, bukan sekadar warisan masa lalu," cetusnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved