Pedestrian Jogja Membawa Misi Inklusif bagi Pejalan Kaki

Menjadikan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta lebih ramah bagi manusia yang berjalan dan mewujudkan mobilitas yang berkelanjutan.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Arsip Pedestrian Jogja
Relawan Komunitas Pedestrian Jogja dalam aksi sosial inklusi menarasikan hak-hak dasar pejalan kaki. (Sumber: Arsip Pedestrian Jogja) 

Ringkasan Berita:- Pedestrian Jogja  adalah gerakan advokasi yang lahir tahun 2018 dan berafiliasi dengan Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka), bertujuan memperjuangkan hak dan perspektif pejalan kaki dalam konteks mobilitas perkotaan di wilayah DIY.
- Gerakan ini berlandaskan pada Tiga Pilar Area Gerak yaitu Inklusi Sosial, Keberlanjutan Perkotaan, dan Tanggung Jawab Lingkungan.
- Program komunitas ini antara lain; Jogja-lan,  Wayahe Mlaku, dan Wayahe Lenggah

 

TRIBUNJOGJA.COM -- Di tengah gemuruh kendaraan yang mendominasi, Kota Yogyakarta menyimpan sebuah gerakan vokal yang terus memperjuangkan hak-hak dasar warganya.

Pedestrian Jogja sebutan untuk gerakan dan komunitas ini. Mereka bukan sekadar kelompok penghobi jalan kaki biasa.

Abiyyi (26) selaku koordinator gerakan ini menuturkan tujuan besar dari komunitas. “Kami berusaha menarasikan hak dan perspektif pejalan kaki dalam konteks mobilitas perkotaan,” ujarnya, Selasa, (12/11/2025).

Lahir pada tahun 2018, Pedestrian Jogja hadir mengisi ruang vakum gerakan serupa yang sempat ada sejak 2012. 

Sebagai bagian dari Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka), Pedestrian Jogja memfokuskan aksinya di wilayah DIY, terutama kawasan perkotaan Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul).

Fokus utamanya untuk menjadikan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta lebih ramah bagi manusia yang berjalan dan mewujudkan mobilitas yang berkelanjutan.

Gerakan Pedestrian Jogja berdiri di atas tiga pilar utama yang mereka sebut sebagai ‘Area Gerak’ menunjukkan betapa isu pejalan kaki adalah isu multidimensi, bukan hanya soal perbaikan trotoar semata. 

Pilar pertama adalah Inklusi Sosial (Social Inclusion), yang melihat pejalan kaki, termasuk kelompok terpinggirkan dan penyandang disabilitas, dalam konteks mobilitas yang harus setara. Ini adalah penekanan bahwa ruang publik harus dapat diakses oleh siapa saja tanpa terkecuali, di mana keragaman kebutuhan pejalan kaki diakomodasi sepenuhnya.

Pilar kedua adalah Keberlanjutan Perkotaan (Urban Sustainability). Bagi Pedestrian Jogja, berjalan kaki adalah aspek sentral dalam diskursus kota berkelanjutan.

Aksi komunitas Pedestrian Jogja dalam menarasikan hak pejalan kaki untuk mendukung keberlanjutan wilayah perkotaan. (Sumber: Arsip Pedestrian Jogja)
Aksi komunitas Pedestrian Jogja dalam menarasikan hak pejalan kaki untuk mendukung keberlanjutan wilayah perkotaan. (Sumber: Arsip Pedestrian Jogja) (Arsip Pedestrian Jogja)

Mereka menuntut pergeseran paradigma dari kota yang didominasi kendaraan menuju kota yang ramah pada manusia pejalan kaki

Keterkaitan pejalan kaki dianggap cukup sentral dalam mewujudkan ekosistem perkotaan yang sehat dan lestari. 

Terakhir, Tanggung Jawab Lingkungan (Environment Responsibility) menjadikan budaya berjalan kaki sebagai isu lingkungan yang praktis, sebab pilihan mobilitas ini adalah langkah nyata dalam mengurangi dampak buruk terhadap iklim, sekaligus pilihan mobilitas yang paling hemat energi dan nol emisi.

Pedestrian JOgja 3
Relawan Pedestrian Jogja melakukan aksi menyampaikan hak pejalan kaki sebagai bagian dari isu lingkungan. (Sumber: Arsip Pedestrian Jogja)

Untuk menyebarkan narasi, mengedukasi publik, dan melakukan advokasi, Pedestrian Jogja memiliki sejumlah jenama kegiatan yang khas. 

Jogja-lan merupakan program andalan, akronim dari Jogja dan Jalan. Program ini hadir dalam dua bentuk diskusi yang membahas kebijakan dan isu mobilitas, serta tamasya, kegiatan jalan kaki bersama untuk merasakan dan memetakan langsung kondisi infrastruktur pedestrian kota.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved