Jogja Tangguh Bencana, Kolaborasi untuk Melindungi Warisan Budaya dari Risiko Alam
Banjir genangan, gempa bumi, kebakaran, hingga abu vulkanik Gunung Merapi menjadi risiko yang tak pernah jauh dari keseharian warga.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Di wilayah yang dikenal dengan harmoni budaya dan kehidupan masyarakatnya, bencana tetap menjadi ancaman nyata.
Banjir genangan, gempa bumi, kebakaran, hingga abu vulkanik Gunung Merapi menjadi risiko yang tak pernah jauh dari keseharian warga.
Melalui program Jogja Tangguh Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Yogyakarta berupaya menumbuhkan kesiapsiagaan masyarakat hingga ke tingkat kampung.
Program ini menitikberatkan pada pembentukan Kampung Tangguh Bencana (KTB) yang berperan sebagai basis edukasi dan aksi cepat masyarakat dalam mitigasi serta penanganan bencana.
Inisiatif ini tak berdiri sendiri, melainkan digerakkan oleh kolaborasi berbagai unsur: pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan masyarakat.
“Bencana bisa terjadi di mana saja dan kapan saja,” ujar Nur Hidayat, Kepala Pelaksana BPBD Kota Yogyakarta.
“Tidak ada tempat yang benar-benar bebas dari risiko. Bahkan kawasan yang bernilai sejarah dan budaya seperti Sumbu Filosofi pun tetap memiliki potensi bencana. Karena itu kami berupaya mengedukasi masyarakat agar mampu menjaga kesejahteraan dan keselamatan dalam setiap bentuk perencanaan pembangunan, terutama di kawasan bersejarah.”
Menurut Hidayat, upaya ini menjadi penting karena Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai kota budaya, tetapi juga wilayah yang rawan terhadap berbagai ancaman alam.
Maka, kesadaran kolektif dan peran masyarakat menjadi kunci agar kota ini benar-benar tangguh dalam menghadapi situasi darurat.
Kepala Pelaksana BPBD DIY, Dr. Noviar Rahmad, menjelaskan bahwa ketangguhan tidak hanya menjadi urusan masyarakat, melainkan juga lembaga pendidikan dan institusi budaya.
Dalam satu hari, ia meninjau simulasi kebencanaan di madrasah negeri di Bantul, bagian dari program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
“Kami tidak hanya mendorong masyarakat tangguh, tetapi juga satuan pendidikan yang tangguh menghadapi bencana,” kata Noviar. “Di sekolah, siswa diajak memahami apa yang harus dilakukan ketika gempa atau kebakaran terjadi. Dari sana, kita menanamkan kebiasaan kesiapsiagaan sejak dini.”
Menurut Noviar, tantangan terbesar ada pada kawasan padat dan bernilai sejarah seperti Sumbu Filosofi Yogyakarta — kawasan yang menghubungkan Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu Pal Putih, dan kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
“Salah satu artikel dalam penetapan itu menegaskan pentingnya menciptakan masyarakat tangguh bencana di kawasan Sumbu Filosofi,” ujarnya.
“Berdasarkan mandat tersebut, BPBD DIY bersama Balai Pelestarian Kebudayaan, Dinas Kebudayaan, Balai Pengelolaan Sumbu Filosofi, dan World Bank, serta dukungan teknis dari Pusat Studi Bencana UGM, telah menyusun Disaster Risk Management Plan (DRMP) atau Rencana Penanggulangan Risiko Bencana. Dokumen ini menjadi syarat utama dari UNESCO.”
Dalam kajian DRMP tersebut, tim mengidentifikasi 144 atribut bersejarah yang tersebar di tujuh kapanewon(kecamatan), enam di Kota Yogyakarta dan satu di Bantul.
Atribut ini kemudian dikelompokkan ke dalam lima kawasan utama: Keraton dan Alun-Alun, Gerbang dan Pagar, Taman Sari, Masjid Gedhe, dan kawasan kompleks Kepatihan.
Kawasan Beringharjo juga termasuk titik vital karena berfungsi sebagai pusat ekonomi di jalur Sumbu Filosofi.
Hasil kajian DRMP menemukan lima risiko utama yang mengancam kawasan warisan dunia itu.
Pertama, gempa bumi, karena Yogyakarta dilalui oleh lima sesar aktif: Kenteng, Opak, Oyo, Progo, dan Mataram.
Kedua, kebakaran, yang sering terjadi karena padatnya permukiman dan sempitnya akses menuju lokasi-lokasi di sekitar keraton.
Ketiga, banjir genangan akibat sistem drainase yang sempit dan sering tersumbat. Keempat, cuaca ekstrem yang bisa menyebabkan pohon tumbang dan merusak bangunan cagar budaya.
Terakhir, letusan Gunung Merapi, yang abu vulkaniknya berpotensi merusak benda pusaka dan struktur bangunan tua.
“Dari Januari sampai Oktober tahun ini, kejadian kebakaran masih yang tertinggi di wilayah perkotaan,” ujar Noviar.
“Oleh karena itu, dalam penataan kawasan bersejarah seperti Sumbu Filosofi, perlu perhatian khusus terhadap potensi kebakaran, selain ancaman lain seperti gempa atau cuaca ekstrem.”
BPBD DIY, lanjutnya, telah membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2004 dan Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 60 Tahun 2004.
Namun, hasil evaluasi menunjukkan perlunya revisi agar BPBD provinsi dan kota lebih terlibat aktif.
“Kami juga telah membentuk satuan siaga di Keraton yang disebut Drang Rahono Rambacono,” kata Noviar.
“Kelompok ini terdiri dari abdi dalem yang dilatih untuk penanggulangan bencana dan kebakaran di lingkungan Keraton. Kami juga sedang menyusun Rencana Kontinjensi Gempa, karena penanganan bencana di lingkungan Keraton tidak bisa disamakan dengan lokasi umum. Di sana ada benda pusaka dan tata aturan adat yang harus dihormati.”
Dari perspektif kebudayaan, kawasan Sumbu Filosofi dan situs-situs di sekitarnya memang unik sekaligus rentan. Jusman, Pamong Budaya Ahli Pertama dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, menjelaskan bahwa hampir semua dari 144 atribut di kawasan tersebut merupakan bangunan tradisional tanpa struktur bertulang.
“Bangunan-bangunan di kawasan Sumbu Filosofi itu sebagian besar dibangun dengan sistem tradisional,” tutur Jusman. “Tamansari misalnya, dibangun dari bata tanpa tulangan baja. Dulu, gempa besar tahun 1867 merusaknya dengan cukup parah sehingga taman air itu lama terbengkalai. Kondisi seperti itu menunjukkan perlunya penilaian menyeluruh terhadap ketahanan struktur bangunan bersejarah.”
Jusman menambahkan, Masjid Gedhe Kauman memiliki konstruksi yang kuat, tetapi tetap memiliki elemen yang rentan bila terjadi gempa besar.
Sementara Pasar Beringharjo, bangunan kolonial yang kokoh, menghadapi risiko kebakaran tinggi karena padatnya aktivitas perdagangan.
“Secara umum, bangunan lama sebenarnya kuat karena sudah teruji waktu,” ujarnya. “Tapi semuanya bergantung pada perawatan. Kalau tidak terawat, maka risiko bencananya meningkat. Karena itu perlu kerja sama antara instansi kebudayaan dan lembaga kebencanaan agar warisan budaya ini tetap aman dan lestari.”
Podcast Bincang Tangguh Bencana kali ini menunjukkan satu hal penting: kesiapsiagaan bukan hanya urusan teknis, tetapi juga bagian dari budaya.
Dalam masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana seperti Yogyakarta, membangun ketangguhan berarti menanamkan kesadaran kolektif bahwa keselamatan, pelestarian, dan nilai budaya harus berjalan berdampingan.
“Kita harus sadar bahwa gempa tidak membunuh manusia. Yang mematikan adalah bangunan yang roboh karena tidak tahan gempa,” ujar Noviar.
“Karena itu latihan, simulasi, dan pengetahuan dasar harus menjadi bagian dari kebiasaan hidup. Orang yang terbiasa dilatih pun masih bisa panik saat bencana, apalagi yang belum pernah.”
“Jogja Tangguh Bencana” bukan sekadar slogan, melainkan cermin dari semangat gotong royong khas Yogyakarta. Di wilayah yang berdiri di atas jalur sesar dan di bawah bayangan Merapi, masyarakat belajar untuk tidak takut, tetapi siap. Karena pada akhirnya, ketangguhan itu tumbuh dari hal yang paling dekat: kampung, budaya, dan kesadaran untuk saling menjaga. (*)
| Respons Perubahan Cuaca, 15 Kaltana DIY Diproyeksikan Terima Bantuan Alat Kebencanaan |
|
|---|
| Status Siaga Darurat DIY Belum Terbit, BPBD Ingatkan Potensi Longsor hingga Pohon Tumbang |
|
|---|
| SMPN 10 Yogyakarta Jadi Contoh Penerapan SPAB dan Pembentukan Karakter Tangguh |
|
|---|
| Cuaca Ekstrem Mengintai, Kesadaran Warga Kota Yogya Hadapi Potensi Bencana Jadi Kunci Mitigasi |
|
|---|
| BMKG Prediksi Puncak Hujan Januari 2026, BPBD Ajukan Status Siaga Darurat Bencana Hidrometeorologi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.