Apresiasi BWB 2025

Mengunjungi Pancuran Donotirto Lanang dan Wadon, Serta Melihat Gaok Bausasran, Nikmati Kisahnya

Ketiganya adalah, Gaok atau menara sirine Bausasran, Candi Donotirto atau Pancuran Donotirto Lanang di Kemetiran Kidul dan Pancuran Donotirto Wadon.

Editor: ribut raharjo
Tangkapan Layar
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta bersama Tim Juri Apresiasi Bangunan Warisan Budaya (BWB) 2025, Rabu (29/10/2025) mengunjungi tiga bangunan warisan budaya. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta bersama Tim Juri Apresiasi Bangunan Warisan Budaya (BWB) 2025, Rabu (29/10/2025) mengunjungi tiga bangunan warisan budaya.

Ketiganya adalah, Gaok atau menara sirine Bausasran, Candi Donotirto atau Pancuran Donotirto Lanang di Kemetiran Kidul dan Pancuran Donotirto Wadon di Pringgokusuman.

Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan (Kundha Kebudayaan) Kota Yogyakarta, Susilo Munandar, mengatakan, dengan pemilihan bangunan WBCB yang memiliki fungsi sosial masyarakat dapat menjadi sarana sosialisasi perawatan bangunan WBCB dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam merawat dan melestarikan bangunan-bangunan yang berstatus WBCB.

Seperti bangunan Candi Donotirto di Kampung Kemetiran Kidul, tak jauh dari Pasar Patuk itu masih aktif difungsikan warga untuk keperluan mandi dan sebagainya.

Bangunan ini biasa disebut permaindian atau patirtan yang mengiringi sejarah perjalanan Yogyakarta.
Menjadi bagian dari saluran sanitasi atau assainering di Kota Yogyakarta, Pancuran Donotirto Lanang memiliki fungsi yang sangat vital bagi masyarakat sekitar wilayah Pringgokusuman hingga saat ini. 

Menurut berita berbahasa Belanda dalam De Locomotief bertarikh 28 November 1929 diberitakan bahwa pemerintah Kolonial Belanda membangun saluran sanitasi di Kota Yogyakarta. 

Pembangunan ini dilaksanakan pada tahun 1929, yang meliputi pembangunan pintu-pintu air, bak penampungan, dan sistem saluran pembuangan bawah tanah. 

Pembangunan ini menunjukkan laju modernisasi dan sadarnya higienitas Pemerintah Kolonial sebagai kebutuhan masyarakat.

Saluran irigasi ini diduga memanfaatkan jalur-jalur irigasi bawah tanah yang telah ada sejak masa Sultan Hamengku Buwono I yang dikenal sebagai Kali Larangan. 

Kali Larangan dan saluran irigasi ini memiliki hulu yang sama yakni Kali Winongo di daerah Kricak yang dikenal sebagai Bendungan Bendolole. 

Saluran ini yang mengalir ke Selatan melalui beberapa outlet atau pancuran, hingga nantinya masuk ke dalam Masjid Gede dan Tamansari.

Dengan semakin meningkatnya populasi Kota Yogyakarta, saluran irigasi yang dibangun Pemerintah Kolonial ini diberikan beberapa outlet-outlet air (pancuran) yang dimanfaatkan sebagai sarana mandi, cuci, kakus hingga saat ini.

Pancuran yang berada di Jalan Jogonegaran ini berbentuk persegi panjang dengan dua bilik yang memisahkan pengguna laki-laki dan perempuan. 

Terbuat dari struktur batu bata berplester dan berlantai plester semen. Beberapa hiasan di pancuran ini yang berbentuk pelipit candi dan antefik membuat pancuran ini juga dikenal oleh masyarakat sebagai Candi Donotirto. 

Pada tahun 2023 Pancuran Donotirto ini ditetapkan sebagai Struktur Cagar Budaya melalui Keputusan Wali Kota Yogyakarta.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved