Program Nasional Digitalisasi Pengadaan Barang dan Jasa Mulai di Kalurahan DIY, Target Transparansi

Menurut Sumardi, Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa Muda, upaya ini merupakan peralihan dari sistem belanja manual menuju sistem elektronik

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
DIGITALISASI PENGADAAN: Para narasumber berbincang dalam podcast Insight bertema “Implementasi dan Pengenalan Digitalisasi Pengadaan Barang dan Jasa di Kalurahan” di Yogyakarta, baru-baru ini. Diskusi membahas kesiapan pemerintah dan pelaku usaha dalam menerapkan sistem pengadaan berbasis digital di tingkat kalurahan. 

TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mulai mengenalkan sistem digitalisasi pengadaan barang dan jasa di tingkat kalurahan. Langkah ini menjadi bagian dari program nasional yang bertujuan meningkatkan transparansi, efisiensi, serta pemberdayaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal melalui sistem e-purchasing dan katalog elektronik.

Program ini dijalankan oleh Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah DIY bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Telkom Indonesia.

Menurut Sumardi, Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa Muda, upaya ini merupakan peralihan dari sistem belanja manual menuju sistem elektronik.

“Selama ini teman-teman di kalurahan masih melakukan belanja secara manual, seperti membeli langsung di toko material atau warung. Mulai tahun ini kami mencoba mengenalkan sistem belanja elektronik, baik melalui toko daring maupun katalog yang sudah tersedia,” ujar Sumardi dalam podcast Insight bertema Implementasi Digitalisasi Pengadaan Barang dan Jasa di Kalurahan di Yogyakarta, Rabu (15/10).

Sosialisasi program ini sudah dilaksanakan di empat kabupaten di DIY, yakni Bantul, Sleman, Gunungkidul, dan Kulon Progo.

Aris Eko Hariyanto, Penelaah Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Setda DIY, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari roadshow Biro PBJ DIY untuk memperkenalkan sistem digital kepada pamong kalurahan dan pelaku usaha lokal.

“Kami sudah melaksanakan roadshow di empat kabupaten. Intinya, kami mensosialisasikan kepada pemerintah kalurahan dan pelaku usaha lokal—penyedia makanan, bahan bangunan, kerajinan, dan lainnya—bahwa produk mereka berpotensi dibeli oleh pemerintah, baik pusat, daerah, maupun lembaga lain,” kata Aris.

Ia menambahkan, pelaku usaha seperti UMKM, BUMKal (Badan Usaha Milik Kalurahan), maupun koperasi perlu bersiap karena nantinya sistem pengadaan pemerintah akan beralih ke platform digital.

“Ini sebenarnya peluang besar bagi mereka untuk memperluas pasar,” ujarnya.

Anggota DPRD DIY Lilik Syaiful Ahmad menegaskan bahwa program digitalisasi pengadaan barang dan jasa ini merupakan kebijakan turunan dari pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 dan Peraturan Presiden Tahun 2024.

Menurutnya, kebijakan ini membuka ruang baru bagi pelaku usaha lokal untuk ikut serta dalam belanja pemerintah.

“Program ini turunan dari kebijakan nasional. Saya melihatnya sebagai peluang besar bagi pengusaha, baik di desa maupun di kota. Pemerintah wajib melakukan edukasi agar masyarakat tahu bahwa ada lapak baru, yaitu pasar digital pemerintah,” kata Lilik.

“Anggarannya besar, bisa diakses, dan ini menjadi peluang ekonomi bagi pengusaha lokal,” tambahnya.

Lilik menyebutkan, nilai belanja barang dan jasa di Yogyakarta mencapai sekitar Rp1,9 triliun dari total APBD Rp5,2 triliun pada tahun 2026.

“Ini peluang yang harus ditangkap pelaku usaha. Pemerintah memberikan akses, tinggal masyarakat mau memanfaatkannya atau tidak,” ujarnya.

Meski peluang besar terbuka, sejumlah kendala masih dihadapi dalam penerapan sistem digital ini.
Aris Eko Hariyanto mengungkapkan, kendala utama adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan minimnya pemahaman digital di kalangan pelaku usaha.

“Masih banyak pelaku usaha yang belum terbiasa menggunakan sistem digital. Mereka masih terbiasa dengan transaksi konvensional—jual hari ini, dibayar hari ini. Belum banyak yang memahami mekanisme jual beli daring dengan prosedur administrasi pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, menurut Aris, sebagian pelaku usaha kecil juga menghadapi kendala permodalan karena sistem pembayaran pemerintah tidak langsung dilakukan saat transaksi.

“Kalau pembayarannya tempo 30 hari, tentu sulit bagi pengusaha yang modalnya terbatas. Karena itu, edukasi harus dibarengi solusi pendanaan,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Sumardi menyebut bahwa pemerintah pusat sebenarnya telah menyiapkan instrumen Kartu Kredit Pemerintah (KKP) untuk membantu penyedia yang memiliki keterbatasan modal.

Namun, di DIY program ini masih dalam tahap pembahasan dengan beberapa bank.

“Kami sudah berkomunikasi dengan tiga bank, tapi memang masih butuh waktu untuk implementasinya,” ujarnya.

Kesiapan Pamong dan Masyarakat

Di sisi lain, kesiapan aparatur kalurahan dalam mengoperasikan sistem digital dinilai cukup baik.
Menurut Sumardi, sebagian besar pamong sudah terbiasa menggunakan komputer dalam pekerjaan sehari-hari, sehingga proses adaptasi tidak menjadi masalah besar.

“Ketika diinformasikan akan ada perubahan sistem belanja menjadi digital, mereka relatif mudah menyesuaikan. Keuntungan lain, sistem digital lebih efisien, mengurangi penggunaan kertas, dan arsip datanya lebih aman,” kata Sumardi.

Namun, kesiapan masyarakat dan pelaku usaha masih beragam.

Lilik menilai perlu adanya pendampingan berkelanjutan, termasuk melibatkan generasi muda sebagai penggerak digitalisasi di desa.

“Tidak semua masyarakat siap. Tapi anak-anak muda, mahasiswa, dan siswa SMK bisa menjadi jembatan. Mereka bisa membantu para pelaku usaha di kalurahan agar melek digital dan berdaya saing,” ujar Lilik.

“Kita tidak bisa memaksa semua orang langsung bisa, tapi bisa membangun ekosistem agar mereka mau belajar,” tambahnya.

Biro Pengadaan Barang dan Jasa DIY terus memperkuat pendampingan dan edukasi bagi masyarakat serta aparatur pemerintah.
Aris menyebutkan, pendampingan dilakukan dua kali seminggu melalui Zoom Meeting, serta layanan konsultasi langsung di kantor Biro PBJ DIY.

“Kami membuka pendampingan setiap Selasa dan Kamis secara daring, dan setiap hari di ruang layanan kami di kantor. Pelaku usaha bisa datang langsung untuk belajar cara mendaftar dan mengunggah produk mereka ke platform marketplace,” jelasnya.

Menurut Lilik, manfaat terbesar dari digitalisasi pengadaan ini adalah meningkatnya transparansi dan efisiensi tata kelola keuangan daerah.
Ia menilai sistem baru ini akan memperkecil peluang praktik kolusi dan nepotisme.

“Dengan digitalisasi, proses pengadaan menjadi lebih transparan, efisien, dan terukur. Standar barang dan jasa menjadi jelas, akuntabilitas meningkat, dan potensi penyimpangan dapat diminimalkan,” kata Lilik.

Ketiga narasumber sepakat, keberhasilan digitalisasi pengadaan barang dan jasa di kalurahan bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.

Selain memperkuat sistem, edukasi dan sosialisasi berkelanjutan menjadi kunci agar seluruh kalurahan di DIY mampu menerapkan sistem pengadaan elektronik secara mandiri.

“Ini bukan pekerjaan yang mustahil. Dengan kolaborasi semua pihak dan pendampingan yang berkesinambungan, digitalisasi pengadaan bisa mempercepat transformasi pelayanan publik di tingkat kalurahan,” tandas Aris.

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved