Pakar Mikrobiologi Tekankan Penanganan Cepat Kasus Keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis

Dalam konteks program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditujukan bagi siswa sekolah, hal ini menjadi krusial

freepik.com
Ilustrasi makan bergizi gratis 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Maraknya kasus keracunan makanan di sekolah membuat masyarakat perlu memahami perbedaan antara alergi dan keracunan makanan.

Kedua kondisi ini kerap disalahartikan, padahal penanganannya sangat berbeda dan menentukan keselamatan pasien, terutama di lingkungan anak sekolah.

Guru Besar Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K), menjelaskan bahwa pemahaman yang keliru kerap membuat penanganan awal tidak tepat.

Dalam konteks program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditujukan bagi siswa sekolah, hal ini menjadi krusial karena keterlambatan tindakan dapat memperburuk kondisi anak.

“Alergi makanan merupakan reaksi sistem kekebalan tubuh yang terjadi segera setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan dalam jumlah kecil, makanan pemicu alergi bisa menimbulkan gejala seperti biduran, pembengkakan pada saluran pernapasan yang memicu asma, hingga gangguan pencernaan,” jelas Tri, Kamis (9/10/2025).

Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, reaksi alergi dapat berkembang menjadi anafilaksis, yakni kondisi serius yang mengancam jiwa bila tidak segera ditangani.

Sementara itu, keracunan makanan memiliki mekanisme berbeda.

Kondisi ini bukan disebabkan oleh reaksi imun tubuh, melainkan akibat masuknya kuman atau zat berbahaya melalui makanan atau minuman yang dikonsumsi.

“Keracunan makanan biasanya menimbulkan gejala seperti sakit perut, muntah, dan diare yang muncul beberapa jam hingga satu hari setelah mengonsumsi makanan tersebut,” terangnya.

Menurutnya, sebagian besar kasus keracunan tergolong ringan dan bisa sembuh tanpa pengobatan khusus.

Namun, dalam kondisi tertentu, dampaknya bisa menjadi serius jika tidak segera ditangani, terutama bila disebabkan oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella sp. dan Escherichia coli (E coli).

Tri menjelaskan, kedua bakteri tersebut memiliki cara kerja yang berbeda dalam menimbulkan penyakit.

Salmonella patogenik mampu bertahan dari asam lambung dan menyerang mukosa usus, menyebabkan peradangan dan luka pada dinding usus.

Adapun E. coli penghasil toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. coli atau STEC) dapat memicu penyakit tular makanan yang parah.

“Meskipun gejalanya mirip, mekanisme penyebabnya berbeda-beda tergantung jenis bakterinya,” ungkapnya.

Dalam konteks program MBG di sekolah, Tri menekankan pentingnya penanganan pertama yang cepat dan tepat saat siswa menunjukkan gejala keracunan makanan.

“Muntah dan diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit. Langkah paling penting dalam pertolongan pertama adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang untuk mencegah dehidrasi,” ujarnya.

Ia menyarankan agar penderita banyak minum air putih atau cairan yang mengandung elektrolit.

Bila muntah masih terjadi, minumlah sedikit demi sedikit, dan segera mencari pertolongan medis jika kondisi tidak membaik.

Tri juga mengingatkan bahwa demam yang kerap muncul saat keracunan tidak selalu menandakan kondisi berbahaya.

Dalam banyak kasus, demam justru merupakan mekanisme alami tubuh untuk melawan infeksi.

“Peningkatan suhu tubuh membantu memperlambat pertumbuhan bakteri dan mengoptimalkan kerja sistem imun. Jadi, demam bisa berperan membantu tubuh mengendalikan infeksi,” paparnya.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa pencegahan tetap menjadi langkah paling efektif dalam menghindari keracunan makanan.

Seluruh rantai proses penyediaan makanan dalam program MBG—mulai dari pemilihan bahan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi—harus diawasi dengan ketat.

“Setiap tahap proses bisa menjadi titik masuk bagi bakteri, virus, jamur, atau parasit penyebab keracunan. Karena itu, standar kebersihan harus diterapkan secara optimal,” tegasnya.

Tri menutup dengan pesan agar masyarakat, terutama para pengelola program MBG dan tenaga pendidik, meningkatkan kesadaran terhadap keamanan pangan di lingkungan sekolah.

“Kata kuncinya adalah menjaga mutu bahan dan proses, menaati standar kebersihan, serta bertindak cepat dan tepat ketika gejala muncul,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved