Produksi Massal dan Lemahnya Pengawasan Dinilai Picu Potensi Keracunan MBG
Dalam temuan UGM, durasi antara proses memasak, pengemasan, hingga konsumsi di sejumlah sekolah kerap melebihi empat jam.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Rentetan kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan celah serius dalam manajemen keamanan pangan.
Pusat Kedokteran Tropis (PKT) Universitas Gadjah Mada (UGM) memperingatkan, tanpa perbaikan sistemik pada rantai produksi dan pengawasan, program unggulan pemerintah ini berisiko menimbulkan dampak kesehatan luas bagi anak sekolah di berbagai daerah.
Direktur PKT UGM, Dr. dr. Citra Indriani, MPH, menegaskan bahwa pengelolaan makanan dalam skala besar seperti yang dijalankan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membutuhkan standar dan disiplin tinggi dalam setiap tahap prosesnya.
“Jumlah porsi yang diproduksi setiap hari sangat besar. Setiap celah dalam proses, mulai dari pemilihan bahan baku, memasak, penyimpanan, hingga distribusi, bisa berdampak pada ribuan anak sekolah,” ujarnya, Senin (6/10/2025).
Ia menilai, kompleksitas produksi makanan massal menuntut penerapan sistem keamanan pangan yang ketat seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).
Namun, hasil investigasi PKT UGM terhadap sejumlah kejadian luar biasa (KLB) pangan terkait MBG di wilayah Yogyakarta menunjukkan masih banyak kesenjangan dalam penerapan kaidah tersebut. Pengawasan di lapangan dinilai belum optimal, sementara pemahaman pelaksana terhadap prinsip keamanan pangan masih terbatas.
Dalam temuan UGM, durasi antara proses memasak, pengemasan, hingga konsumsi di sejumlah sekolah kerap melebihi empat jam.
Sementara itu, fasilitas penyimpanan makanan belum memadai untuk menjaga suhu aman.
Baca juga: Biaya Akibat Keracunan MBG di Mlati Sleman Ditanggung Pihak SPPG, Nilainya Capai Rp47 Juta
Beberapa menu juga ditemukan kurang matang karena harus diproduksi dalam jumlah besar.
Di beberapa sekolah, makanan bahkan dikemas ulang tanpa melalui proses pemanasan ulang.
“Kondisi ini memperbesar risiko terjadinya keracunan massal, terutama ketika bahan makanan disimpan pada suhu ruang dalam waktu lama. Tanpa pengendalian yang baik, kontaminasi mikroba bisa terjadi dalam hitungan jam,” terang Citra.
PKT UGM merekomendasikan sejumlah langkah perbaikan.
Pertama, pemerintah perlu melakukan standarisasi fasilitas dan kapasitas produksi di setiap SPPG, termasuk asesmen kelayakan produksi massal sebelum pelaksanaan program.
Kedua, penerapan SOP berbasis HACCP harus diwajibkan sejak tahap pengadaan bahan baku hingga makanan dikonsumsi siswa.
Selain itu, seluruh staf yang terlibat dalam pengolahan makanan wajib mengikuti pelatihan keamanan pangan dan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Biaya Akibat Keracunan MBG di Mlati Sleman Ditanggung Pihak SPPG, Nilainya Capai Rp47 Juta |
![]() |
---|
Standar Higienitas SPPG Jadi Fokus Pemda DIY, Baru 10 Persen yang Bersertifikat |
![]() |
---|
Dua Dapur SPPG di Gunungkidul Ditutup Imbas Kasus Keracuan MBG |
![]() |
---|
Guru Besar UGM: MBG Sebaiknya Diserahkan ke Kantin Sekolah |
![]() |
---|
Tragedi MBG Semin: Ketika Suapan Makanan Bergizi Malah Menjadi Bakteri |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.