Kasus Bullying Sering Tak Tercatat, RSJ Grhasia Dorong Kolaborasi Sekolah Cegah Gangguan Mental Anak
Data khusus mengenai bullying atau perundungan memang belum terdokumentasi secara rinci karena sebagian besar kasus tidak dilaporkan secara langsung
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus kekerasan terhadap anak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih tinggi dan menunjukkan tren peningkatan dalam dua tahun terakhir.
Data yang dihimpun Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia menunjukkan, pada 2023 tercatat 1.186 kasus kekerasan terhadap anak dengan 414 korban berusia sekolah.
Jumlah itu meningkat menjadi 1.326 kasus pada 2024, dengan 504 korban berusia 0–17 tahun.
Sebagian besar kasus tersebut diduga berkaitan dengan perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.
Direktur RSJ Grhasia, dr. Akhmad Akhadi S, MPH, menjelaskan bahwa data khusus mengenai bullying atau perundungan memang belum terdokumentasi secara rinci karena sebagian besar kasus tidak dilaporkan secara langsung.
“Kejadian bullying di sekolah itu sering kali tidak diakui dan tidak tercatat secara formal. Data yang muncul biasanya masuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Dari situ, kita bisa memperkirakan bahwa korban berusia 10 sampai 17 tahun adalah anak-anak usia sekolah,” ujarnya dalam podcast Tribun Jogja bertajuk "Bullying Bisa Bikin Mental Rusak? Kenali Tanda & Selamatkan Mentalmu!", Senin (6/10/2025).
Akhmad menambahkan, kecenderungan meningkatnya kasus tersebut harus diwaspadai karena kekerasan psikologis seperti ejekan, hinaan, atau pengucilan sering dianggap sepele.
“Padahal, dampak psikologisnya bisa jauh lebih berat dibanding kekerasan fisik. Anak bisa mengalami ketakutan berkepanjangan, rasa tidak percaya diri, hingga kehilangan motivasi belajar,” katanya.
Wakil Direktur Pelayanan RSJ Grhasia, dr. Tri Sunu Handayani, menambahkan bahwa bentuk perundungan saat ini semakin beragam, mulai dari verbal, sosial, hingga fisik.
“Bullying banyak terjadi sejak tingkat pendidikan dasar sampai menengah. Awalnya hanya berupa ejekan atau gurauan kasar, tapi bila dibiarkan bisa berkembang menjadi kekerasan fisik dan berujung pada trauma psikologis,” ujarnya.
Menurut Tri Sunu, efek yang ditimbulkan pada korban dapat muncul dalam jangka pendek maupun panjang.
“Awalnya korban merasa sedih, takut ke sekolah, atau memilih diam. Dalam jangka panjang, mereka bisa mengalami gangguan kepribadian, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga berperilaku antisosial,” ucapnya.
Akhmad menambahkan, tingkat keparahan gangguan psikologis tergantung pada intensitas dan kualitas tekanan yang dialami korban.
“Ada anak yang relatif tahan terhadap tekanan, tetapi ada juga yang sangat rapuh secara psikomental. Jika lingkungan sekolah maupun keluarga tidak memberi dukungan, trauma itu bisa menetap dan berkembang menjadi gangguan kejiwaan,” katanya.
Untuk mencegah dampak tersebut, RSJ Grhasia menggagas program Sekolah Sehat Jiwa (SSJ).
Program ini bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kesehatan mental siswa dengan melibatkan berbagai unsur sekolah.
Salah satu komponen utama program ini adalah pelatihan peer counselor atau konselor sebaya, yakni pelajar yang dilatih agar mampu memberikan dukungan awal bagi teman yang mengalami tekanan mental atau perundungan.
“Anak-anak lebih mudah terbuka kepada teman sebayanya dibanding guru atau orang tua. Karena itu, kami latih konselor sebaya agar tahu bagaimana mendengar keluhan, merespons dengan empati, dan membantu mengarahkan teman yang butuh bantuan profesional,” kata Akhmad.
Program SSJ juga melibatkan guru bimbingan konseling (BK), wali kelas, dan orangtua.
Tri Sunu menjelaskan, setiap kali dilakukan screening kesehatan mental di sekolah, hasilnya disampaikan kepada pihak sekolah dan keluarga agar penanganan dapat dilakukan sejak dini.
“Kalau masalahnya ringan, bisa ditangani di sekolah melalui guru BK atau konselor sebaya. Namun, kalau sudah berat, kami bantu dengan rujukan ke fasilitas kesehatan jiwa,” ujarnya.
Hingga kini, RSJ Grhasia telah menjalankan uji coba program SSJ di salah satu sekolah di Yogyakarta.
Hasilnya menunjukkan perubahan positif dalam pola interaksi antar siswa.
“Anak-anak mulai belajar mendengarkan, menumbuhkan empati, dan menghargai perbedaan. Mereka lebih peka terhadap teman yang terlihat murung atau menarik diri,” kata Tri Sunu.
Meski demikian, keterbatasan tenaga dan sumber daya menjadi kendala dalam memperluas pelaksanaan program.
Akhmad menilai, kolaborasi lintas sektor perlu diperkuat agar SSJ bisa diterapkan secara lebih luas.
“Anak-anak sekolah adalah aset bangsa. Membangun lingkungan yang aman dan sehat jiwa tidak bisa hanya dilakukan oleh rumah sakit atau sekolah, tetapi juga butuh peran pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat,” ujarnya.
Ia menekankan, pendidikan nilai menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan bullying. “Anak harus ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan bahwa setiap orang itu berbeda dan memiliki martabat yang sama. Cara paling efektif untuk mengajarkan itu adalah melalui keteladanan — dari orang tua, guru, hingga pemimpin,” katanya.
Tri Sunu menambahkan, konsep sekolah sehat jiwa bukan hanya soal mengatasi masalah mental, tetapi juga menumbuhkan kepedulian sosial di lingkungan sekolah.
“Sering kali masalah anak di sekolah berakar dari rumah — entah karena konflik keluarga, tekanan ekonomi, atau kekerasan domestik. Karena itu, sekolah perlu peka, peduli, dan menciptakan ruang aman agar anak tidak merasa sendirian,” ujarnya.
Menurutnya, dengan dukungan bersama antara keluarga, sekolah, dan tenaga kesehatan, kasus perundungan bisa ditekan. (*)
Cara Lapor Jika Terjadi Kekerasan Anak dan Perempuan di Yogyakarta, Gratis Bebas Pulsa |
![]() |
---|
Puluhan Kasus Kekerasan pada Anak Tercatat di Yogya Sepanjang 2025, Warga Didorong Tak Takut Melapor |
![]() |
---|
Karst Bukan Sekadar Lahan Tandus, Tapi Penopang Ekonomi Hijau |
![]() |
---|
Masa Depan Ilmu Manajemen di Tengah Gempuran Teknologi dan Kecerdasan Buatan |
![]() |
---|
Perundungan dan Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.