Keracunan MBG Jadi Warning Keras, Pakar Gizi UMY Tekankan Perlu Evaluasi Dari Hulu Hingga Hilir

Tidak kurang dari 6.452 siswa di Indonesia menjadi korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Dok UMY
Pakar Gizi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. dr. Merita Arini, MMR 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA- Tidak kurang dari 6.452 siswa di Indonesia menjadi korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Keracunan massal ini menjadi alarm keras untuk melakukan evaluasi.

Pakar Gizi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. dr. Merita Arini, MMR, mengatakan dengan banyaknya korban keracunan akibat MBG sudah bisa dikatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Meskipun untuk menetapkan status tersebut menjadi otoritas pemerintah.

“Untuk KLB sebenarnya ada ketentuannya, misalnya ada periode waktu tertentu secara spesifik, atau timbulnya penyakit baru, risiko menjadi wabah, peningkatan angka kesakitan atau kematian yang cukup tinggi. Kalau dari jumlahnya saja seharusnya sudah bisa dikatakan sebagai KLB,” katanya, Jumat (26/09/2025).

“Sebenarnya, tanpa menetapkan status KLB, ini (keracunan) sudah menjadi warning keras untuk kejadian ini. Ketika kejadian ini sampai ribuan dan terjadi di banyak daerah, artinya evaluasinya harus secara nasional. Harusnya pemerintah yang mengambil alih supaya tidak terjadi lagi,” sambungnya.

Ia menerangkan keracunan makanan paling umum karena ada kontaminasi, seperti bakteri, virus, jamur, parasit.

Kontaminasi tersebut tidak hanya pada makanan, namun juga tempat yang digunakan untuk membawa makanan, atau alat makan dan sebagainya yang ada di sekitar makanan itu.

Keracunan makanan juga bisa terjadi akibat toksin atau zat kimia yang ada di dalam makanan itu sendiri.

Paling banyak terjadi karena produk-produk yang tidak segar maupun produk hewani yang jika terlalu lama bisa mengandung zat kimia tertentu. 

Baca juga: Kasus Keracunan Massal MBG Terus Berulang, Begini Upaya Pencegahan yang Dilakukan BGN

Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan dari hulu ke hilir. Dari hulu, rantai pasoknya perlu diperhatikan mulai dari pemilihan makanan yang segar dan berkualitas. 

“Di SPPG ada satuan pengawasnya ya, dari input makanan itu bisa akhirnya masuk ke dapur, kemudian diolah. Kemudian pengolahan makanan, alat yang digunakan harus dipastikan steril. Proses distribusinya juga seharusnya jangan terlalu lama atau tidak terlalu panjang jalurnya, karena rentan kontaminasinya,” terangnya.

Meirita juga menyoroti pengawasan, khususnya untuk mengawasi kebersihan. Menurut dia, SOP masing-masing SPPG harus benar-benar berjalan. 

“Bagaimana tray itu dicuci sampai bersih, dikeringkan, dan disteril. Tidak boleh lembab, berbau apek. Karena ada kontaminasi yang terdeteksi dari bau tray saja sudah meningkatan risiko keracunan. Apalagi dari proses produksi sampai diterimanya makanan sampai berjam-jam, itu menyebabkan umur ketahanan makan semakin berkurang,” ujarnya.

Ia menambahkan ahli gizi di SPPG juga memiliki peran penting dalam melakukan kontrol dan evaluasi dari bahan pangan yang masuk sampai dengan proses produksinya.

Di samping itu, kebiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di sekolah juga perlu diperkuat.

“Terutama pada momen-momen yang mereka (siswa) harus cuci tangan pakai sabun, sebelum makan dan setelah ke toilet. Karena itu jelas mempengaruhi kontaminasi saat mereka makan makanan yang diterima,” imbuhnya. (maw)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved