Valuasi Ekonomi Kelelawar Capai Rp9 Miliar per Tahun, Pemerintah Diminta Serius Lindungi Karst

Karst di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di Gunungkidul, menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
EKOSISTEM KARST: Podcast infrastruktur bertajuk “Keanekaragaman Hayati pada Kawasan Ekosistem Karst di DIY”, Kamis (11/9). 

Ia menjelaskan, kawasan Gunung Sewu merupakan bentang alam karst yang membentang dari Gunungkidul hingga Pacitan. Ribuan bukit berbentuk konikal di kawasan ini telah diakui sebagai kekayaan geologi Indonesia dan dunia. Meski demikian, di Yogyakarta hanya sebagian kecil segmen karst yang bisa terlihat jelas berupa deretan bukit gamping.

Karena itu, menurut Dihin, pemahaman publik tentang fungsi kawasan karst harus diperkuat. “Bagaimana regulasinya, apa yang harus dilakukan masyarakat, serta bagaimana menjaga keseimbangannya,” katanya.

Dihin menegaskan, keanekaragaman hayati bukan sekadar terkait tumbuhan dan satwa, melainkan sistem penopang kehidupan manusia. “Manusia tidak bisa hidup tanpa dukungan ini: butuh makanan, energi, oksigen, obat-obatan, dan iklim yang stabil—semuanya bersumber dari keanekaragaman hayati,” ujarnya.

Sayangnya, kesadaran masyarakat tentang hal tersebut masih rendah. Ia mencontohkan, jika satu jenis fauna dieksploitasi berlebihan, rantai makanan bisa terputus dan memicu masalah baru, mulai dari ledakan hama, penyakit, hingga bencana ekologis. “Alam akan selalu menyeimbangkan dirinya, dengan cara yang kadang berdampak langsung pada kehidupan manusia,” katanya.

Khusus di kawasan karst, lanjut Dihin, keanekaragaman hayati sangat penting dalam menopang ekosistem, termasuk ketersediaan air, hutan, dan sumber daya hayati lainnya. Karena itu, menjaga keanekaragaman hayati bukan pilihan, melainkan keharusan.

Lebih jauh, Dihin mengingatkan bahwa falsafah pembangunan Yogyakarta sejak awal sudah menekankan keseimbangan antara manusia dan alam. “Ada sesanti Hamemayu Hayuning Bawana, serta ajaran seperti Memasuh Malaning Bumi dan Mengasah Mingising Budi. Filosofi ini menekankan dua hal: menjaga kelestarian alam serta mendidik manusia agar bijak, tidak serakah, dan tidak merusak lingkungan,” ujarnya.

Namun, dalam praktik pembangunan saat ini, nilai-nilai tersebut sering terlupakan. Padahal, jika dijalankan dengan konsisten, tujuan pembangunan berkelanjutan akan lebih mudah tercapai. “Implementasi pembangunan berkelanjutan pada dasarnya adalah wujud nyata dari Hamemayu Hayuning Bawana,” kata Dihin.

Menurut Dihin, birokrasi memiliki pekerjaan besar dalam mengedukasi masyarakat sekaligus aparatur pemerintah di semua OPD agar arah pembangunan tetap selaras dengan prinsip menjaga lingkungan. Pemerintah daerah, kata dia, selalu menyusun kajian-kajian sebagai dasar edukasi masyarakat, sekaligus mendorong inisiatif regulasi terkait keanekaragaman hayati, baik di kawasan karst maupun di luar karst.

“Program-program di level birokrasi akan terus diarahkan agar mendukung pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan,” tegasnya.

Ia pun menekankan pentingnya pendidikan publik. “Edukasi harus menjadi kata kunci. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati harus ditanamkan sejak dini, baik melalui pendidikan formal di sekolah maupun kegiatan langsung di masyarakat,” kata Dihin.

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved