Valuasi Ekonomi Kelelawar Capai Rp9 Miliar per Tahun, Pemerintah Diminta Serius Lindungi Karst

Karst di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di Gunungkidul, menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
EKOSISTEM KARST: Podcast infrastruktur bertajuk “Keanekaragaman Hayati pada Kawasan Ekosistem Karst di DIY”, Kamis (11/9). 

TRIBUNJOGJA.COM - Kawasan karst di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di Gunungkidul, menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Namun, pembangunan di kawasan tersebut menghadirkan ancaman serius berupa kerusakan ekosistem, banjir, hingga hilangnya keanekaragaman hayati.

A.B. Rodhial Falah dari Acintyacunyata Speleological Club (ASC) menekankan bahwa gua bukan sekadar ruang kosong, melainkan ekosistem unik yang dihuni fauna dengan adaptasi khusus.

“Banyak orang masih menganggap gua hanya sekadar ruang gelap dan kosong, bahkan ada yang melihatnya hanya sebagai titik di peta. Padahal, ketika kita masuk ke dalam gua, kita seakan memasuki ekosistem yang sama sekali berbeda dengan permukaan. Di dalamnya hidup beragam fauna, mulai dari kelelawar, ikan, hingga berbagai jenis serangga. Banyak di antara fauna itu yang telah beradaptasi dengan kondisi gelap abadi. Misalnya, jangkrik gua memiliki antena empat kali lebih panjang dibanding jangkrik di permukaan, atau ikan-ikan yang tubuhnya transparan dan bahkan ada yang tidak memiliki mata,” ujarnya dalam podcast infrastruktur bertajuk "Keanekaragaman Hayati Pada Kawasan Ekosistem Karst di DIY", Kamis (11/9).

Menurut dia, Gunung Kidul merupakan kawasan kaya fauna endemik gua, misal kepiting Jacobson (nama ilmiah Karstarma jacobsoni dulu Sesarma jacobsoni). Kepiting ini ditemukan di gua-gua yang berhubungan dengan sistem sungai bawah tanah (misalnya Gua Bribin) dan gua-gua lain di karst, sering kali jauh dari pantai.

Morphologi mereka menunjukkan adaptasi terhadap lingkungan gua: tubuh pucat, mata mengecil, tungkai panjang, dan mampu hidup di air tawar atau genangan dalam gua.

Rodhial menambahkan, kelelawar memegang peranan penting dalam keseimbangan ekosistem sekaligus bernilai ekonomi bagi masyarakat.

“Banyak orang tidak sadar bahwa kehidupan kita dijaga oleh keberadaan kelelawar. Dari penelitian tim LIPI (kini BRIN) tahun 2013, diketahui bahwa satu ekor kelelawar pemakan serangga bisa mengonsumsi sekitar 800 ekor serangga dalam satu malam—sekitar sepertiga dari berat badannya. Jenis serangga yang dimakan beragam, mulai dari kupu-kupu hingga kumbang. Artinya, kelelawar berperan sebagai pengendali hama alami, menggantikan fungsi pestisida kimia di bidang pertanian,” tuturnya.

Ia menjelaskan, penelitian di Gunung Kidul menunjukkan seekor kelelawar mampu terbang sejauh 5–10 kilometer dari gua tempat tinggalnya, mencakup area hingga ribuan hektare sawah. “Valuasi ekonominya besar: dari 13 gua yang ditinggali kelelawar, nilai jasa ekosistemnya diperkirakan mencapai hampir Rp9 miliar per tahun. Padahal, Gunung Kidul memiliki 617 gua, yang sebagian besar belum terdata secara menyeluruh,” katanya.

Selain berperan sebagai pengendali hama, kotoran kelelawar atau guano juga bernilai ekonomis sebagai pupuk alami. Namun, Rodhial mengingatkan, “Proses akumulasi guano di gua harus dikelola hati-hati, sebab interaksi dengan batuan karbonat bisa menghasilkan gas metana yang berpotensi meledak jika terpicu api.”

Sayangnya, tidak semua gua masih dihuni kelelawar. “Gua-gua yang dekat dengan pemukiman atau yang sudah dibuka untuk wisata massal sering kali kehilangan populasinya. Karena itu, penting ada pemetaan: gua mana yang harus dipertahankan sebagai kawasan konservasi, dan gua mana yang bisa dikembangkan untuk pariwisata. Gua dengan keanekaragaman hayati tinggi, dihuni fauna endemik, atau menjadi sumber mata air seharusnya diprioritaskan untuk konservasi,” ujarnya.

Selain aspek ekologi, gua juga menyimpan nilai arkeologi. “Di Gunung Kidul, misalnya, ada situs Sokoliman atau Gua Braholo yang menyimpan jejak nenek moyang. Ini menambah alasan kuat untuk menjaga gua, bukan sekadar melihatnya dari sisi pariwisata,” kata Rodhial.

Meski demikian, potensi wisata gua tetap terbuka. Menurutnya, salah satu bentuk wisata yang minim risiko terhadap ekosistem adalah menyaksikan atraksi kelelawar keluar gua saat senja.

“Hal ini bisa dijadikan tontonan menarik tanpa harus masuk ke dalam gua. Di Yogyakarta sendiri, ada Gua Ngeleng di Paliyan, Gunung Kidul, tempat wisatawan bisa melihat ribuan kelelawar keluar secara bersamaan,” ujarnya.

ASC, lanjut Rodhial, mendampingi para peneliti kelelawar dan bekerja sama dengan sejumlah lembaga untuk memantau fauna gua.

“Kami juga membantu memetakan radius terbang kelelawar menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Dari penelitian itu, terungkap dua spesies utama kelelawar pemakan serangga di Gunung Kidul, yaitu Hipposiderus larvatus dan Rhinolopus canoti. Keduanya memiliki daya jelajah hingga 5–10 kilometer,” katanya.

Dari data tersebut, ASC juga menghitung nilai ekonomi kelelawar. “Misalnya, petani biasanya menggunakan pestisida senilai Rp30.000 per 50 ml untuk melindungi satu hektare lahan, dengan rata-rata penggunaan 150 ml per hektare. Jika kelelawar bisa menggantikan fungsi pestisida itu, maka manfaat ekonominya bagi pertanian sangat besar,” jelasnya.

Namun, Rodhial mengungkapkan, kendala utama adalah hasil penelitian kerap tidak ditindaklanjuti menjadi kebijakan konkret. “Kendala terbesar selama ini adalah hasil penelitian dan data yang dikumpulkan organisasi seperti kami sering hanya berhenti sebagai dokumen. Pemerintah daerah jarang menindaklanjuti data itu menjadi kebijakan konkret. Padahal, data tersebut memiliki nilai penting untuk pembangunan berkelanjutan,” tegasnya.

Ia menambahkan, kegiatan pemantauan dan riset banyak dibiayai secara swadaya. “Kami yang tergabung di ASC sering mengeluarkan biaya pribadi karena dorongan hobi dan kepedulian terhadap kelestarian gua, bukan karena ini pekerjaan utama. Harapannya, pemerintah bisa berperan sebagai pusat penghubung (hub) agar data dan penelitian ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Rodhial.

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD DIY, Nur Subiyantoro, S.I.Kom., menegaskan bahwa pengelolaan kawasan cagar alam perlu diarahkan agar tidak semata dipandang dari sisi konservasi. Menurut dia, keanekaragaman hayati di kawasan tersebut adalah aset penting yang bisa dikembangkan untuk memberi nilai tambah ekonomi.

“Pengelolaan itu bukan hanya untuk menjaga dan merawat kelestariannya, tetapi juga bagaimana ke depan kawasan ini bisa memberi manfaat lebih luas. Saya berharap, dengan pengelolaan yang tepat, kawasan ini tidak hanya dipandang dari sisi pelestarian semata, tetapi juga memiliki nilai ekonomis dan ekosistem yang menarik bagi masyarakat,” ujarnya.

Nur mencontohkan ekosistem kelelawar yang ada di kawasan cagar alam. Ia mengingatkan, populasi kelelawar bisa terganggu jika kawasan hanya dijadikan objek wisata secara berlebihan. Namun, potensi itu justru bisa dikembangkan dengan pendekatan ekonomi hijau.

Menurut Nur, kunci pengelolaan kawasan cagar alam adalah kolaborasi. Wisata tetap bisa dikembangkan, tetapi harus diatur agar tidak merusak ekosistem. “Wisata jangan dimatikan, tetapi perlu diatur dan dikembangkan dengan pola kolaborasi agar semua pihak mendapat manfaat,” tuturnya.

Ia menambahkan, potensi kelelawar tidak boleh dianggap sebagai gangguan. Justru sebaliknya, bisa menjadi sumber ekonomi baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal itu, kata dia, membutuhkan kajian, diskusi, dan penelitian bersama agar pengembangan kawasan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.

“Kalau bicara soal pelestarian, jangan sampai cagar alam hanya dilihat dari sisi perlindungan semata, sebab hal itu bisa membuat masyarakat kurang tertarik. Justru kalau dikelola dengan baik, kawasan ini bisa memberi manfaat besar, baik dari sisi perlindungan lingkungan maupun peningkatan ekonomi warga,” ucapnya.

Nur menekankan, masyarakat tidak boleh hanya dijadikan objek, melainkan harus menjadi subjek dalam setiap kebijakan pengelolaan.

“Masyarakat jangan hanya dijadikan objek, tetapi juga harus dilibatkan sebagai subjek. Mereka perlu diberdayakan dalam setiap kebijakan agar bisa ikut mengelola kawasan. Kami yakin, DPRD maupun eksekutif tidak bisa bekerja sendiri tanpa peran serta masyarakat, apalagi masyarakatlah yang setiap hari tinggal di kawasan ini dan paling tahu kondisi di lapangan,” ujarnya.

Ia menyadari, proses itu tidak bisa berjalan instan. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat perlu diperkuat agar bisa ikut mengelola kawasan secara tepat.

Dalam kesempatan yang sama, Dihin Nabrijanto, S.H., M.A., Analis Kebijakan Ahli Madya Biro PIWP2 Setda DIY menambahkan bahwa kawasan karst di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bukan sekadar deretan bukit gamping yang indah dipandang mata. Lebih dari itu, karst menyimpan fungsi ekologis penting bagi kelestarian ekosistem dan kehidupan manusia. Namun, masih banyak masyarakat yang memahami karst sebatas “gunung” tanpa mengetahui nilai keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Banyak orang masih memahami karst hanya sebatas gunung. Padahal, gunung karst memiliki ciri spesifik. Dalam istilah masyarakat, sering disebut gunung gamping karena terbentuk dari batuan gamping. Bentuknya khas—menonjol atau berlekuk-lekuk—yang dalam literatur dikenal sebagai conical hill,” ujarnya.

Ia menjelaskan, kawasan Gunung Sewu merupakan bentang alam karst yang membentang dari Gunungkidul hingga Pacitan. Ribuan bukit berbentuk konikal di kawasan ini telah diakui sebagai kekayaan geologi Indonesia dan dunia. Meski demikian, di Yogyakarta hanya sebagian kecil segmen karst yang bisa terlihat jelas berupa deretan bukit gamping.

Karena itu, menurut Dihin, pemahaman publik tentang fungsi kawasan karst harus diperkuat. “Bagaimana regulasinya, apa yang harus dilakukan masyarakat, serta bagaimana menjaga keseimbangannya,” katanya.

Dihin menegaskan, keanekaragaman hayati bukan sekadar terkait tumbuhan dan satwa, melainkan sistem penopang kehidupan manusia. “Manusia tidak bisa hidup tanpa dukungan ini: butuh makanan, energi, oksigen, obat-obatan, dan iklim yang stabil—semuanya bersumber dari keanekaragaman hayati,” ujarnya.

Sayangnya, kesadaran masyarakat tentang hal tersebut masih rendah. Ia mencontohkan, jika satu jenis fauna dieksploitasi berlebihan, rantai makanan bisa terputus dan memicu masalah baru, mulai dari ledakan hama, penyakit, hingga bencana ekologis. “Alam akan selalu menyeimbangkan dirinya, dengan cara yang kadang berdampak langsung pada kehidupan manusia,” katanya.

Khusus di kawasan karst, lanjut Dihin, keanekaragaman hayati sangat penting dalam menopang ekosistem, termasuk ketersediaan air, hutan, dan sumber daya hayati lainnya. Karena itu, menjaga keanekaragaman hayati bukan pilihan, melainkan keharusan.

Lebih jauh, Dihin mengingatkan bahwa falsafah pembangunan Yogyakarta sejak awal sudah menekankan keseimbangan antara manusia dan alam. “Ada sesanti Hamemayu Hayuning Bawana, serta ajaran seperti Memasuh Malaning Bumi dan Mengasah Mingising Budi. Filosofi ini menekankan dua hal: menjaga kelestarian alam serta mendidik manusia agar bijak, tidak serakah, dan tidak merusak lingkungan,” ujarnya.

Namun, dalam praktik pembangunan saat ini, nilai-nilai tersebut sering terlupakan. Padahal, jika dijalankan dengan konsisten, tujuan pembangunan berkelanjutan akan lebih mudah tercapai. “Implementasi pembangunan berkelanjutan pada dasarnya adalah wujud nyata dari Hamemayu Hayuning Bawana,” kata Dihin.

Menurut Dihin, birokrasi memiliki pekerjaan besar dalam mengedukasi masyarakat sekaligus aparatur pemerintah di semua OPD agar arah pembangunan tetap selaras dengan prinsip menjaga lingkungan. Pemerintah daerah, kata dia, selalu menyusun kajian-kajian sebagai dasar edukasi masyarakat, sekaligus mendorong inisiatif regulasi terkait keanekaragaman hayati, baik di kawasan karst maupun di luar karst.

“Program-program di level birokrasi akan terus diarahkan agar mendukung pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan,” tegasnya.

Ia pun menekankan pentingnya pendidikan publik. “Edukasi harus menjadi kata kunci. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati harus ditanamkan sejak dini, baik melalui pendidikan formal di sekolah maupun kegiatan langsung di masyarakat,” kata Dihin.

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved