Valuasi Ekonomi Kelelawar Capai Rp9 Miliar per Tahun, Pemerintah Diminta Serius Lindungi Karst
Karst di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di Gunungkidul, menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
“Kami juga membantu memetakan radius terbang kelelawar menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Dari penelitian itu, terungkap dua spesies utama kelelawar pemakan serangga di Gunung Kidul, yaitu Hipposiderus larvatus dan Rhinolopus canoti. Keduanya memiliki daya jelajah hingga 5–10 kilometer,” katanya.
Dari data tersebut, ASC juga menghitung nilai ekonomi kelelawar. “Misalnya, petani biasanya menggunakan pestisida senilai Rp30.000 per 50 ml untuk melindungi satu hektare lahan, dengan rata-rata penggunaan 150 ml per hektare. Jika kelelawar bisa menggantikan fungsi pestisida itu, maka manfaat ekonominya bagi pertanian sangat besar,” jelasnya.
Namun, Rodhial mengungkapkan, kendala utama adalah hasil penelitian kerap tidak ditindaklanjuti menjadi kebijakan konkret. “Kendala terbesar selama ini adalah hasil penelitian dan data yang dikumpulkan organisasi seperti kami sering hanya berhenti sebagai dokumen. Pemerintah daerah jarang menindaklanjuti data itu menjadi kebijakan konkret. Padahal, data tersebut memiliki nilai penting untuk pembangunan berkelanjutan,” tegasnya.
Ia menambahkan, kegiatan pemantauan dan riset banyak dibiayai secara swadaya. “Kami yang tergabung di ASC sering mengeluarkan biaya pribadi karena dorongan hobi dan kepedulian terhadap kelestarian gua, bukan karena ini pekerjaan utama. Harapannya, pemerintah bisa berperan sebagai pusat penghubung (hub) agar data dan penelitian ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Rodhial.
Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD DIY, Nur Subiyantoro, S.I.Kom., menegaskan bahwa pengelolaan kawasan cagar alam perlu diarahkan agar tidak semata dipandang dari sisi konservasi. Menurut dia, keanekaragaman hayati di kawasan tersebut adalah aset penting yang bisa dikembangkan untuk memberi nilai tambah ekonomi.
“Pengelolaan itu bukan hanya untuk menjaga dan merawat kelestariannya, tetapi juga bagaimana ke depan kawasan ini bisa memberi manfaat lebih luas. Saya berharap, dengan pengelolaan yang tepat, kawasan ini tidak hanya dipandang dari sisi pelestarian semata, tetapi juga memiliki nilai ekonomis dan ekosistem yang menarik bagi masyarakat,” ujarnya.
Nur mencontohkan ekosistem kelelawar yang ada di kawasan cagar alam. Ia mengingatkan, populasi kelelawar bisa terganggu jika kawasan hanya dijadikan objek wisata secara berlebihan. Namun, potensi itu justru bisa dikembangkan dengan pendekatan ekonomi hijau.
Menurut Nur, kunci pengelolaan kawasan cagar alam adalah kolaborasi. Wisata tetap bisa dikembangkan, tetapi harus diatur agar tidak merusak ekosistem. “Wisata jangan dimatikan, tetapi perlu diatur dan dikembangkan dengan pola kolaborasi agar semua pihak mendapat manfaat,” tuturnya.
Ia menambahkan, potensi kelelawar tidak boleh dianggap sebagai gangguan. Justru sebaliknya, bisa menjadi sumber ekonomi baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal itu, kata dia, membutuhkan kajian, diskusi, dan penelitian bersama agar pengembangan kawasan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.
“Kalau bicara soal pelestarian, jangan sampai cagar alam hanya dilihat dari sisi perlindungan semata, sebab hal itu bisa membuat masyarakat kurang tertarik. Justru kalau dikelola dengan baik, kawasan ini bisa memberi manfaat besar, baik dari sisi perlindungan lingkungan maupun peningkatan ekonomi warga,” ucapnya.
Nur menekankan, masyarakat tidak boleh hanya dijadikan objek, melainkan harus menjadi subjek dalam setiap kebijakan pengelolaan.
“Masyarakat jangan hanya dijadikan objek, tetapi juga harus dilibatkan sebagai subjek. Mereka perlu diberdayakan dalam setiap kebijakan agar bisa ikut mengelola kawasan. Kami yakin, DPRD maupun eksekutif tidak bisa bekerja sendiri tanpa peran serta masyarakat, apalagi masyarakatlah yang setiap hari tinggal di kawasan ini dan paling tahu kondisi di lapangan,” ujarnya.
Ia menyadari, proses itu tidak bisa berjalan instan. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat perlu diperkuat agar bisa ikut mengelola kawasan secara tepat.
Dalam kesempatan yang sama, Dihin Nabrijanto, S.H., M.A., Analis Kebijakan Ahli Madya Biro PIWP2 Setda DIY menambahkan bahwa kawasan karst di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bukan sekadar deretan bukit gamping yang indah dipandang mata. Lebih dari itu, karst menyimpan fungsi ekologis penting bagi kelestarian ekosistem dan kehidupan manusia. Namun, masih banyak masyarakat yang memahami karst sebatas “gunung” tanpa mengetahui nilai keanekaragaman hayati di dalamnya.
“Banyak orang masih memahami karst hanya sebatas gunung. Padahal, gunung karst memiliki ciri spesifik. Dalam istilah masyarakat, sering disebut gunung gamping karena terbentuk dari batuan gamping. Bentuknya khas—menonjol atau berlekuk-lekuk—yang dalam literatur dikenal sebagai conical hill,” ujarnya.
Cuaca DI Yogyakarta Hari Ini Kamis 11 September 2025: Waspadai Hujan Deras dan Petir |
![]() |
---|
Targetkan Bank Sampah di Setiap Kalurahan, Pemkab Gunungkidul Siap Carikan Pembeli |
![]() |
---|
Kronologi Wisatawan asal Jakarta Hilang di Pantai Siung, Jenazah Ditemukan di Pantai Krakal |
![]() |
---|
Puluhan Pemuda di Gunungkidul Ikuti Program Pengembaraan Kebangsaan, Calon Garda Perubahan Desa |
![]() |
---|
Porda XVII DIY: Bupati Harda Harap Sleman Raih Juara Umum Empat Kali Beruntun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.