Akademisi UMY Nilai Presiden Prabowo Tak Paham Konteks Aksi Unjuk Rasa, Bikin Rakyat Terpolarisasi
Setiap pesan yang disampaikan pemimpin harus dihubungkan dengan situasi yang melatarbelakanginya
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Respons Presiden Prabowo Subianto terkait gelombang unjuk rasa yang terjadi di sejumlah daerah, mulai 29 Agustus hingga 2 September 2025, dinilai tidak memahami konteks.
Prabowo sempat mengeluarkan sejumlah pernyataan menanggapi aksi unjuk rasa, termasuk di antaranya meminta masyarakat untuk mempercayai pemerintahan yang ia pimpin hingga akan menaikkan pangkat polisi yang menjadi korban ricuh saat demonstrasi berlangsung.
Ketua Program Studi S2 Media dan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Senja Yustitia, mengatakan komunikasi politik pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, dalam merespons demonstrasi belakangan ini belum menyentuh akar persoalan yang dirasakan masyarakat.
“Kalau akar masalah yang disampaikan masyarakat itu adalah ketidakpuasan kinerja pemerintah dan DPR, maka masalah itulah yang perlu direspons. Misal, tidak puas karena apa? karena kinerja? atau karena pajak? Itu yang harusnya direspons,” kata Senja kepada Tribun Jogja, Selasa (2/9/2025).
Dia menjelaskan komunikasi tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks.
Setiap pesan yang disampaikan pemimpin harus dihubungkan dengan situasi yang melatarbelakanginya
Senja menegaskan bahwa kekecewaan dan kemarahan publik dalam aksi unjuk rasa tidak muncul tanpa sebab.
Sebaliknya, ada alasan kuat seperti kinerja pemerintah, putus kerja maupun kebijakan perpajakan yang dianggap memberatkan.
“Jadi, jangan melihat apa yang terjadi hari ini, tapi lihat konteksnya apa? Respons yang ingin didengarkan publik adalah pemerintah menjawab terkait ketidakpuasan itu,” ungkapnya.
Rakyat Terpolarisasi
Senja menambahkan, apa yang dikatakan Prabowo itu justru membuat rakyat semakin terpolarisasi dengan pemerintah.
Menurutnya, ketika Presiden menyalahkan pihak-pihak yang menyampaikan aspirasi dengan alasan aksi ditunggangi pihak asing, tidak tertib, atau tidak damai, hal itu menimbulkan kesan bahwa pengunjuk rasa tidak cinta persatuan dan kesatuan.
"Itu mempolarisasi, membuat penggolongan hitam dan putih. Itu biner dan itu tidak seharusnya dilakukan kepala negara," tegas Senja.
Ia menilai, pendekatan komunikasi seperti itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap konteks sosial yang melatarbelakangi aksi massa.
Padahal, demonstrasi adalah wujud nyata ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah maupun DPR.
Pertama Kali dalam Sejarah, Indonesia Jadi Pembicara Ketiga di Sidang Majelis Umum PBB 2025 |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Bakal Berpidato di Sidang Umum PBB, Urutan Ketiga Setelah Silva dan Trump |
![]() |
---|
2,6 Juta Sarjana di Indonesia Menganggur, Ini Pesan Penting untuk Para Pencari Kerja |
![]() |
---|
UMY Gelar Silaturahmi Orang Tua Mahasiswa Baru, Perkuat Komunikasi Kampus dan Keluarga |
![]() |
---|
Pakar Ekonomi Syariah UMY Sebut Judol Punya Daya Rusak Tinggi, Gerus Stabilitas Ekonomi Masyarakat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.