Dosen UGM Sebut Kenaikan Tunjangan DPR Bukti Kurangnya Sense of Crisis

Penaikan penghasilan anggota wakil rakyat ini dinilai tidak menunjukkan rasa empati pada kondisi ekonomi masyarakat yang turun.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Yoseph Hary W
Dok. Humas DPR RI
Foto dok ilustrasi gedung DPR RI 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menuai kontra dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM). 

Pasalnya kenaikan penghasilan anggota wakil rakyat ini dinilai tidak menunjukkan rasa empati pada kondisi ekonomi masyarakat yang turun. Turunnya kondisi ekonomi masyarakat ini terlihat dari lesunya daya beli dan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana-mana. 

Kebijakan ini pun menimbulkan reaksi masyarakat berupa aksi demonstrasi yang dilakukan massa di depan gedung DPR.

Munculnya aksi protes dari masyarakat ini menurut Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Nurhadi P hd, dikarenakan kebijakan kenaikan tunjangan anggota dewan tersebut selain gagal secara substantif, kebijakan ini pun gagal dalam penerimaan publik. 

“Kebijakan ini tidak memiliki empati atau kepekaan sosial terhadap kondisi rakyat, kurangnya sense of crisis, kurangnya kapasitas DPR dalam merumuskan masalah dan kebijakan, serta buruknya komunikasi pada publik,” kata Nurhadi, Kamis (28/8/2025). 

Kebijakan menaikkan tunjangan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit ini menurut Nurhadi menunjukkan kurangnya empati atau kepekaan sosial para anggota dewan. 

Pasalnya, kebijakan ini disusun ketika kondisi ekonomi masyarakat kita itu sedang tidak baik-baik saja.

“Kondisi rakyat belum pulih sepenuhnya dari guncangan ekonomi pasca Covid-19 yang menyisakan ribuan PHK dan juga usaha-usaha yang terdampak. Belum lagi para pengangguran dari para lulusan muda,” katanya. 

Dia pun menilai dengan anggota DPR menaikkan penghasilan bulanannya justru mempertebal kesenjangan sosial yang ada di antara para dewan dan rakyat kecil. 

Nurhadi membandingkan total pendapatan anggota DPR setara dengan ratusan ribu gaji guru honorer. 

“Jadi ini kan satu kesenjangan yang sangat tinggi,”imbuhnya.

Kebijakan kenaikan tunjangan yang dilakukan di tengah keadaan fiskal negara yang sedang tidak baik ini, menurut Nurhadi sangatlah tidak tepat apalagi pemerintah juga melakukan banyak efisiensi.

Selain itu, ia juga menyoroti soal kurangnya kapasitas para anggota dewan dalam merumuskan kebijakan. 

Para anggota DPR dianggap gagal dalam menerapkan prinsip keadilan dalam menelurkan kebijakannya kali ini. 

Nurhadi menjelaskan bahwa dalam Prinsip Keadilan oleh John Rawls, ada yang namanya difference principle. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved