Hasil Pemeriksaan Laboratorium Keluar, Ini Penyebab Ratusan Siswa di Mlati Sleman Keracunan Menu MBG
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, penyebab keracunan diduga akibat makanan terkontaminasi oleh tiga bakteri.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Penyebab ratusan siswa dari empat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Mlati, Kabupaten Sleman keracunan setelah mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) akhirnya terjawab.
Hal itu setelah hasil pemeriksaan terhadap sampel makanan, muntahan dan feses di Laboratorium Kesehatan Masyarakat DIY keluar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, penyebab keracunan diduga akibat makanan terkontaminasi oleh tiga bakteri.
Diberitakan sebelumnya, peristiwa yang menyebabkan para ratusan siswa bergejala mual, muntah hingga diare ini terjadi pada Rabu, 13 Agustus 2025 lalu.
"Kami sampaikan bahwa kerpang (keracunan pangan) tersebut, dimungkinkan karena cemaran bakteri Eschericia coli, Clostridium sp dan Staphloccus. Tapi masih harus dikonfirmasikan dengan hasil penyelidikan epidemiologi lapangannya," kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman, Cahya Purnama, Selasa (26/8/2025).
Menurut Cahya, ketiga bakteri tersebut bisa masuk ke dalam tubuh manusia, biasanya melalui makanan yang terkontaminasi atau makanan yang disajikan tidak higienis.
Sejauh ini, meski bakteri yang diduga mengontminasi makanan diketahui, namun sumber penyebab keracunan belum diketahui secara pasti.
Sebab, hasil laboratorium masih memerlukan konfirmasi penyelelidikan epidemiologi di lapangan secara menyeluruh.
Baca juga: Jumlah Korban Dugaan Keracunan Menu MBG di Sleman Bertambah, Kini Tercatat Menjadi 379 Siswa
Adapun sampel makanan yang diperiksa antara lain rawon, nasi dan lalapan.
Penyelidikan epidemiologi diperlukan untuk menyusun rekomendasi sebagai langkah pencegahan resiko ke depan.
Contoh rekomendasi, misalnya, ketika sumber bakteri dipastikan dari kontaminasi air maka dibutuhkan treatment dari sumber airnya.
Jika sumber bakteri dari nasi maka rekomendasinya supaya cara pengolahan nasi dari bahan hingga matang disesuaikan dengan kaidah yang baik.
"Rekomendasi diberikan kepada catering atau penyedia makanan," katanya.
Potensi keracunan pangan serupa sangat mungkin terjadi di masyarakat ketika masak dalam jumlah besar.
Oleh sebab itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman mengimbau agat memperhitungkan waktu masak dengan penyajian.

Penyajian makanan yang baik tidak lebih dari 4 jam setelah dimasak. Semisal skala besar, memasak juga bisa dibuat bertahap namun tidak dicampur.
Makanan disajikan sesuai tahap memasaknya sehingga jika terjadi keracunan atau sesuatu yang tidak diinginkan, bisa dilacak sumber penyebabnya dari mana.
Terkait hasil lab apakah akan diberikan ke pihak Kepolisian, Cahya mengatakan, dalam kasus keracunan makanan, pihak kepolisian biasanya akan meminta hasilnya lewat surat resmi.
Akan tetapi, pihaknya memberikan pengertian bahwa hasil laboratorium tersebut tidak bisa berdiri sendiri.
"Karena nanti memang akan dikonfirmasi dengan hasil-hasil penyelidikan epidemiologi yang lain," kata dia.
Tanggapan Bupati
Terpisah, Bupati Sleman Harda Kiswaya berpendapat terkait dengan program MBG di Sleman pascakejadian ini memang perlu dievaluasi untuk perbaikan.
Kolaborasi antara Pemerintah Kabupaten sebagai penerima manfaat makanan, dengan Badan Gizi Nasional (BGN) yang membawahi SPPG sebagai pihak penyedia makanan, perlu ditingkatkan. Harapannya agar kejadian serupa tidak terulang.
"Saya mohon maaf kalau ini kurang pas. Tapi yang jelas, harus dievaluasi berkaitan dengan MBG ini. Betul-betul saya berharap kolaborasi pemerintah daerah dan BGN ayok kita tingkatkan, sehingga mudah-mudahan nanti tidak terulang. Saya berharap seperti itu," kata Harda.
Bupati juga berharap proses pengawasan terhadap makanan supaya lebih diperhatikan.
Makanan yang sudah diperiksa dan dipastikan higienitasnya yang boleh didistribusikan.
Adapun terkait dapur penyedia makanan, kata Harda, Pemkab Sleman tidak memiliki kewenangan sampai di sana namun menurut dia perlu ada evaluasi agar tidak terulang kembali.
Apabila dapur penyedia makanan terbukti melanggar, misalnya penyediaan makanan ternyata disubkonkan, atau dikerjakan oleh pihak ketiga, maka perlu ada punishment berupa pemutusan kontrak.
"Kalau saya tentu (penyedianya) dikasih punishment. Kenapa bisa sampai terjadi seperti itu. Kalau itu disub-kan kenapa bisa seperti itu, kita harus tegas, gak usah ewuh pekewuh. Karena ini menyangkut kesehatan anak-anak kita generasi ke depan, sehingga harus hati-hati betul. MBG yang disajikan harus higenis," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, ada 379 siswa yang sempat mengalami keracunan makanan.
Mereka berasal dari 4 sekolah yakni SMP Muhammadiyah 1 Mlati, SMP Muhammadiyah 3 Mlati, SMP Pamungkas dan SMP Negeri 3 Mlati.
Mayoritas siswa mulai mengalami gejala mual pusing hingga diare pada Rabu (13/8/2025) pagi, setelah sehari sebelumnya mengonsumsi MBG dengan menu rawon.
Para siswa yang bergejala keracunan massal ini langsung dilarikan ke Puskesmas Mlati 1 dan Puskesmas Mlati II.
Mereka mendapatkan penangan medis awal.
Siswa yang kondisinya membaik diperbolehkan pulang sedangkan 19 siswa yang membutuhkan penanganan lanjutan dirujuk ke RSUD Sleman dan 1 ke RSA UGM. (*)
Simakjamu Meluncur di DPRD Sleman, Setwan Klaim Tidak Akan Ada Lagi Cerita Kunjungan Fiktif |
![]() |
---|
Lestarikan Permainan Tradisional, Murid PAUD di Sleman Diajak Bermain Dolanan Anak |
![]() |
---|
Sleman Berencana Bentuk Satgas MBG, Cegah Keracunan |
![]() |
---|
Kasus Berulang di Yogyakarta Siswa Keracunan Seusai Menyantap Menu MBG |
![]() |
---|
Bupati Gunungkidul Dorong KNMP Jadi Pemasok Kebutuhan Lauk di Program MBG |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.