Dengan begitu nama Pajimatan Imagiri bermakna sebagai gunung berawan/gunung tinggi yang merupakan tempat bersemayamnya jimat/pusaka bagi kerajaan Mataram Islam.
Baca juga: Sejarah Panggung Krapyak bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta, Ternyata Ini Fungsinya Guys
Makna filosofis dari Gapura Makam Imogiri
Gapura-gapura tersebut menjadi batas wilayah bagi area-area dalam pemakaman.
Untuk menuju ke atas Astana Pajimatan Himagiri terdapat gapura yang bernama Gapura Supit Urang.
Supit Urang adalah nama strategi perang Mataram yang dilakukan dengan cara mengepung musuh secara rangkap dari kedua sisi, sehingga musuh benar-benar terkurung membentuk pola seperti udang.
Gapura Supit Urang secara simbolik merupakan gapura utama untuk masuk ke semua area pemakaman.
Kedelapan astana yang ada di kompleks Astana Pajimatan Himagiri masing-masing memiliki gapura sebagai akses masuknya.
Pada area pertama merupakan ruang publik yang ditandai dengan adanya gapura supit urang sebagai jalan masuk menuju kompleks Kasultanagungan.
Area kedua adalah area semi sakral bernama Srimanganti yang ditandai dengan gapura paduraksa.
Berbeda dengan gapura supit urang, gapura paduraksa memiliki atap.
Semua gapura paduraksa pada Pasarean Imogiri memiliki daun pintu yang bisa dibuka tutup dan ornamen sayap pada kedua sisinya.
Ornamen sayap ini melambangkan sayap burung yang menjadi lambang lepasnya burung dari sangkar, sebuah filosofi jawa dalam memandang arwah yang lepas dari badan.
Di atas area semi sakral tersebut terdapat area sakral yang disebut sebagai Kedhaton.
Di area sakral dan semi sakral inilah terdapat makam para Raja dan keluarga terdekatnya.
Sultan Agung menjadi penghuni pertama di Pasarean Imogiri
Sultan Agung menjadi raja pertama yang dimakamkan di Pasarean Imogiri .
Setelah itu pemakaman ini digunakan untuk raja-raja seterusnya, bahkan saat Mataram terbelah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Oleh itulah kemudian pemakaman itu terdiri dari beberapa kompleks utama di antaranya Kasultanagungan, Pakubuwanan, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.
Dilansir dari Kratonjogja.id, walaupun ibukota kerajaan berpindah berkali-kali bahkan sampai terbelah, namun raja-raja yang bertahta tetap berpulang di tempat peristirahatan terakhir yang sama, yaitu di Makam Imogiri ini.
Daftar Raja-Raja yang Dimakamkan di Imogiri
Saat ini Pasarean Imogiri terdiri dari beberapa kompleks utama yaitu Kasultanagungan, Pakubuwanan, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta. Di kompleks makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, terdapat tiga Astana atau Kedhaton sebagai ruang inti pemakaman Sultan, yaitu:
1. Kedaton Sultan Agungan : Sultan Agung, Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat III.
2. Kedaton Pakubuwanan : Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, Sunan Paku Buwana II.
3. Kedaton Bagusan/Kasuwargan : Sunan Paku Buwana III, Sunan Paku Buwana IV, Sunan Paku Buwana V
4. Kedaton Astana Luhur : Sunan Paku Buwana VI, Sunan Paku Buwana VII, Sunan Paku Buwana VIII, Sunan Paku Buwana IX
5. Kedaton Girimulyo : Sunan Paku Buwana X, Sunan Paku Buwana XI
6. Kedaton Kasuwargan Yogyakarta : Sultan Hamengku Buwono I dan III
7. Kedaton Besiyaran: Sultan Hamengku Buwono IV, Sultan Hamengku Buwono V, Sultan Hamengku Buwono VI
8. Kedaton Saptarengga : Sultan Hamengku Buwono VII, Sultan Hamengku Buwono VIII, Sultan Hamengku Buwono IX
Baca juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Wujud Pemikiran Besar Sri Sultan HB I untuk Warganya
Kenapa Sultan Hamengku Buwono II tak dimakamkan di Makam Imogiri?
Tentu banyak yang bertanya-tanya kenapa Sultan Hamengku Buwono II tak dimakamkan di Makam Imogiri padahal dia juga seorang raja?
Sultan Hamengku Buwono II yang sudah sepuh meninggal pada 3 Januari 1828.
Sebelumnya sang raja disebut menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua.
Pemerintahan akhirnya diserahkan kepada cicitnya, yaitu Hamengku Buwono V.
Berbeda dari penguasa-penguasa Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengku Buwono II tidak dimakamkan di Imogiri.
Dia dimakamkan di kompleks pemakaman Kotagede.
Hal ini terjadi karena pertimbangan keamanan.
Kala itu, jalur perjalanan ke Imogiri kala itu dikuasai oleh kubu Pangeran Diponegoro.
Di tahun-tahun itu, Pangeran Diponegoro sedang memimpin pasukannya melawan Belanda dalam Perang Jawa.
Baca artikel lain terkait Sumbu Filosofi Yogyakarta
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )