TRIBUNJOGJA.COM - Berbicara Sumbu Filosofi Yogyakarta memang sepertinya hanya berpusat Gunung Merapi, Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta dan Pantai Parangtritis.
Namun, sebenarnya tidak loh, Tribunners. Banyak hal yang berhubungan dengan Sumbu Filosofi Yogayakarta ini.
Misalnya tempat peristirahatan terakhir Raja-Raja yang bertahta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta beserta keluarganya yang berada di Kecamatan Imogiri.
Makam para Raja-Raja ini dikenal sebagai Makam Imogiri atau Pasarean Imogiri.
Makam Imogiri ini adalah lokasi peristirahatan terakhir Raja-Raja Mataram dan keluarganya yang dibangun oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1632.
Kompleks pemakaman yang luasnya mencapai 10 hektar terletak kurang lebih 16 km di sebelah selatan Keraton Yogyakarta.
Tepatnya berada di wilayah Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Makam Imogiri dikenal masyarakat karena gaya arsitekturnya yang unik.
Untuk mencapai ke makam-makam Raja Imogiri ini, para peziarah harus melewati 300 anak tangga.
Lokasi ini berada di atas bukit, di mana mereka masih percaya bahwa bukit sebagai lokasi makam tidak dapat dilepaskan dari konsep masyarakat Jawa pra Hindu yang memandang bukit, atau tempat yang tinggi, sebagai suatu tempat yang sakral dan menjadi tempat bersemayamnya roh nenek moyang.
Pemilihan lokasi di tempat yang tinggi pun merupakan salah satu bentuk kepercayaan masyarakat Hindu yang menganggap semakin tinggi tempat pemakaman, maka semakin tinggi pula derajat kemuliaannya.
Sejarah Makam Imogiri, Makam Para Raja-Raja
Kala memimpin di Kesultanan Mataram Islam, Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sebagai raja ke-3 berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan.
Dilansir Tribunjogja.com dari laman BPCB DIY via Kompas.com, terdapat beberapa sumber tertulis seperti Babad Momana dan Babad ing Sangkala yang menyebut bahwa Sultan Agung memerintahkan pembuatan pemakaman kerajaan tersebut.
Pembangunan kompleks pemakaman raja di Bukit Merak ini dimulai pada tahun 1554 Saka atau 1632 Masehi.
Sultan Agung membangun kompleks makam di Imogiri dengan maksud untuk digunakan sebagai pemakaman keluarga dan keturunan Raja-Raja Kesultanan Mataram Islam.
Pembangunan kompleks pemakaman raja di Bukit Merak ini dimulai pada tahun 1554 Saka atau 1632 Masehi.
Sebenarnya waktu itu Sultan Agung telah memerintahkan untuk membangun pemakaman keluarga kerajaan di Bukit Girilaya.
Baca juga: Sejarah Tugu Pal Putih Jadi Sumbu Filosofi Yogyakarta, Simbol Pengayoman Sultan Kepada Rakyatnya
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta? Ternyata Asal Usulnya dari Sejarah Abad 18
Akan tetapi, karena Panembahan Juminah yang mengawasi pembangunannya pemakaman meninggal dan dimakamkan di Giriloyo, maka Sultan Agung memerintahkan untuk membuat pemakaman baru.
Kala itu, Sultan Agung membangun kompleks makam di Imogiri dengan maksud untuk digunakan sebagai pemakaman keluarga dan keturunan Raja-Raja Kesultanan Mataram Islam.
Pada masa itu Sultan Agung mendapuk Kiai Tumenggung Citrokusumo untuk memimpin pembangunan Makam Imogiri dengan gaya Hindu dan Islam.
Berawal lemparan dari tanah Arab terpilihlah Pasarean Imogiri
Pesarean Imogiri ini bangun di atas bukit. Sebelum Sultan Agung membangun pemakaman ini, ia membawa pasir yang berasal dari Arab.
Seperti yang dilansir Tribunjogja.com dari laman KIKOMUNAL Kemenkumham RI, sebenarnya Sultan Agung ingin dimakamkan di sebuah tempat di Mekah yang memiliki tanah yang harum.
Sayangnya, niat itu pun terurungkan karena mendapat pertimbangan dari sahabat dan ulamanya.
Mereka menyebutkan jika nantinya Sultan Agung ingin dimakamkan di Mekah rakyat Mataram akan kesulitan jika ingin mengunjungi makamnya.
Sebagai gantinya, sang ulama pun menyarankan Sultan Agung untuk membawa segenggam tanah yang harum itu untuk dibawa ke Mataram.
Melalui pemilihan lokasi yang tidak sederhana, akhirnya Sultan Agung menggunakan cara melempar pasir yang ia bawa dari Arab untuk memilih tempat pemakaman.
Pasir itu pun dilempar dari istananya di daerah Pleret dan kemudian jatuh di sebuah bukit yang berada di Imogiri.
Atas dasar itulah Sultan Agung memutuskan untuk membangun makam raja di tempat jatuhnya pasir itu.
Batu Bata dari Abad ke-17
Bata merah yang mendominasi area makam bagian atas merupakan ciri utama arsitektur Islam Jawa atau arsitektur Islam Hindu pada abad ke-17.
Batu bata yang menyusun bangunan Pasarean Imogiri tidak direkatkan menggunakan spesi khusus seperti semen.
Diduga batu-batu bata tersebut disusun dengan metode kosod. Permukaan bata yang satu digosokkan dengan permukaan bata yang lain dengan diberi sedikit air hingga keluar semacam cairan pekat.
Cairan pekat inilah yang kemudian melekatkan satu bata dengan bata lainnya.
Metode ini dimungkinkan karena adanya campuran khusus pada bata masa itu yang tidak lagi terdapat pada bata masa kini.
Terdiri dari ratusan anak tangga
Untuk mencapai tempat makam para Raja, Anda harus melewati ratusan anak tangga dan memiliki lebar 4 meter dengan kemiringan 45 derajat menghubungkan pemukiman dengan pemakaman.
Jika dilihat kembali, garis anak tangga dan posisi antar gapura menuju pemakaman, dari bawah hingga ke atas, membentuk sebuah garis lurus.
Setiap bagian anak tangga memiliki arti dan makna tertentu, sebagai berikut:
- Anak tangga dari pemukiman penduduk menuju area dekat Masjid Pajimatan Himagiri berjumlah 32. Jumlah anak tangga ini menandakan Astana Pajimatan Himagiri yang dibangun pada tahun 1632.
- Anak tangga dari area dekat Masjid Pajimatan Himagiri menuju pekarangan Masjid Pajimatan Himagiri berjumlah 13. Jumlah anak tangga ini melambangkan kenaikan takhta Sultan Agung Anyakrakusuma sebagai raja Mataram pada tahun 1613.
- Anak tangga dari pekarangan Masjid Pajimatan Himagiri menuju tangga terpanjang berjumlah 46. Jumlah anak tangga ini menandakan kemangkatan Sultan Agung pada tahun 1646.
- Anak tangga terpanjang berjumlah 346. Jumlah anak tangga ini menandakan Astana Pajimatan Himagiri yang dibangun secara bertahap selama 346 tahun.
- Anak tangga di sekitar kolam berjumlah 9. Jumlah anak tangga ini melambangkan 9 anggota Walisanga.
Meski jumlahnya ratusan, anak-anak tangga ini dibuat pendek untuk memudahkan para peziarah yang datang mengenakan pakaian adat.
Aturan untuk mengenakan pakaian adat tesebut masih berlaku sampai saat ini untuk area-area tertentu.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika pengunjung dapat menghitung anak tangga dengan benar maka semua keinginannya akan terkabul.
Asal usul nama Pajimatan Imogiri
Nama Pajimatan Imogiri yang disematkan pada Makam Raja Imogiri berasal dari gabungan dua suku kata ‘pajimatan’ dan ‘imogiri’.
Pajimatan berasal dari kata ‘jimat’ yang mendapat awalan pa- dan akhiran –an, untuk menunjukkan tempat, sehingga bermakna sebagai tempat untuk jimat atau tempat pusaka.
Sedangkan Imogiri atau Imagiri berasal dari kata ‘ima’ atau ‘hima’ yang berarti berawan atau awan yang meliputi gunung, dan giri yang berarti gunung.
Dengan begitu nama Pajimatan Imagiri bermakna sebagai gunung berawan/gunung tinggi yang merupakan tempat bersemayamnya jimat/pusaka bagi kerajaan Mataram Islam.
Baca juga: Sejarah Panggung Krapyak bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta, Ternyata Ini Fungsinya Guys
Makna filosofis dari Gapura Makam Imogiri
Gapura-gapura tersebut menjadi batas wilayah bagi area-area dalam pemakaman.
Untuk menuju ke atas Astana Pajimatan Himagiri terdapat gapura yang bernama Gapura Supit Urang.
Supit Urang adalah nama strategi perang Mataram yang dilakukan dengan cara mengepung musuh secara rangkap dari kedua sisi, sehingga musuh benar-benar terkurung membentuk pola seperti udang.
Gapura Supit Urang secara simbolik merupakan gapura utama untuk masuk ke semua area pemakaman.
Kedelapan astana yang ada di kompleks Astana Pajimatan Himagiri masing-masing memiliki gapura sebagai akses masuknya.
Pada area pertama merupakan ruang publik yang ditandai dengan adanya gapura supit urang sebagai jalan masuk menuju kompleks Kasultanagungan.
Area kedua adalah area semi sakral bernama Srimanganti yang ditandai dengan gapura paduraksa.
Berbeda dengan gapura supit urang, gapura paduraksa memiliki atap.
Semua gapura paduraksa pada Pasarean Imogiri memiliki daun pintu yang bisa dibuka tutup dan ornamen sayap pada kedua sisinya.
Ornamen sayap ini melambangkan sayap burung yang menjadi lambang lepasnya burung dari sangkar, sebuah filosofi jawa dalam memandang arwah yang lepas dari badan.
Di atas area semi sakral tersebut terdapat area sakral yang disebut sebagai Kedhaton.
Di area sakral dan semi sakral inilah terdapat makam para Raja dan keluarga terdekatnya.
Sultan Agung menjadi penghuni pertama di Pasarean Imogiri
Sultan Agung menjadi raja pertama yang dimakamkan di Pasarean Imogiri .
Setelah itu pemakaman ini digunakan untuk raja-raja seterusnya, bahkan saat Mataram terbelah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Oleh itulah kemudian pemakaman itu terdiri dari beberapa kompleks utama di antaranya Kasultanagungan, Pakubuwanan, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.
Dilansir dari Kratonjogja.id, walaupun ibukota kerajaan berpindah berkali-kali bahkan sampai terbelah, namun raja-raja yang bertahta tetap berpulang di tempat peristirahatan terakhir yang sama, yaitu di Makam Imogiri ini.
Daftar Raja-Raja yang Dimakamkan di Imogiri
Saat ini Pasarean Imogiri terdiri dari beberapa kompleks utama yaitu Kasultanagungan, Pakubuwanan, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta. Di kompleks makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, terdapat tiga Astana atau Kedhaton sebagai ruang inti pemakaman Sultan, yaitu:
1. Kedaton Sultan Agungan : Sultan Agung, Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat III.
2. Kedaton Pakubuwanan : Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, Sunan Paku Buwana II.
3. Kedaton Bagusan/Kasuwargan : Sunan Paku Buwana III, Sunan Paku Buwana IV, Sunan Paku Buwana V
4. Kedaton Astana Luhur : Sunan Paku Buwana VI, Sunan Paku Buwana VII, Sunan Paku Buwana VIII, Sunan Paku Buwana IX
5. Kedaton Girimulyo : Sunan Paku Buwana X, Sunan Paku Buwana XI
6. Kedaton Kasuwargan Yogyakarta : Sultan Hamengku Buwono I dan III
7. Kedaton Besiyaran: Sultan Hamengku Buwono IV, Sultan Hamengku Buwono V, Sultan Hamengku Buwono VI
8. Kedaton Saptarengga : Sultan Hamengku Buwono VII, Sultan Hamengku Buwono VIII, Sultan Hamengku Buwono IX
Baca juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Wujud Pemikiran Besar Sri Sultan HB I untuk Warganya
Kenapa Sultan Hamengku Buwono II tak dimakamkan di Makam Imogiri?
Tentu banyak yang bertanya-tanya kenapa Sultan Hamengku Buwono II tak dimakamkan di Makam Imogiri padahal dia juga seorang raja?
Sultan Hamengku Buwono II yang sudah sepuh meninggal pada 3 Januari 1828.
Sebelumnya sang raja disebut menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua.
Pemerintahan akhirnya diserahkan kepada cicitnya, yaitu Hamengku Buwono V.
Berbeda dari penguasa-penguasa Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengku Buwono II tidak dimakamkan di Imogiri.
Dia dimakamkan di kompleks pemakaman Kotagede.
Hal ini terjadi karena pertimbangan keamanan.
Kala itu, jalur perjalanan ke Imogiri kala itu dikuasai oleh kubu Pangeran Diponegoro.
Di tahun-tahun itu, Pangeran Diponegoro sedang memimpin pasukannya melawan Belanda dalam Perang Jawa.
Baca artikel lain terkait Sumbu Filosofi Yogyakarta
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )