Urgensi Komunikasi Pejabat Publik di Era Digital

Perkembangan teknologi telah menciptakan masyarakat yang menuntut kejelasan, respons cepat, serta komunikasi yang jujur dan terbuka dari pejabat

Editor: Hari Susmayanti
Dok istimewa
Yanti Rahminur, S.S., M.Ikom, Praktisi di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, Dosen di Universitas Dian Nusantara Prodi Ilmu Komunikasi, Asesor Skema Penyiar Variety Show di LSP RRI 

Menuju Komunikasi Pemerintah yang Efektif dan Terpadu

Dari sudut pandang komunikasi politik, berbagai blunder komunikasi bisa dilihat sebagai cacat dalam
manajemen strategi komunikasi.

Komunikasi politik bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi strategi membentuk legitimasi dan kepercayaan (McNair, 2011).

Menurut McNair, komunikasi politik adalah pertarungan untuk menguasai narasi. Bila narasi yang dibentuk tidak selaras, maka publik akan menerima pesan yang membingungkan, bahkan kontraproduktif.

Jürgen Habermas (1989) melalui konsep public sphere menegaskan bahwa komunikasi publik idealnya menciptakan ruang dialog rasional antara pemerintah dan warga negara. 

Sayangnya, alih-alih menjadi forum deliberatif, ruang publik saat ini justru sering kali dipenuhi oleh retorika yang provokatif tanpa klarifikasi memadai.

Untuk itu, prinsip one voice dalam komunikasi strategis menjadi krusial—bukan untuk menyeragamkan pendapat, melainkan agar setiap pernyataan pejabat selaras dengan kerangka besar narasi kebijakan.

Ketidakterpaduan komunikasi hanya akan memperburuk disonansi, membingungkan publik, dan menciptakan celah untuk disinformasi.

Komunikasi pemerintah yang efektif sangat penting untuk keberhasilan kebijakan, menuntut komunikator tidak hanya mahir dalam kebijakan itu sendiri tetapi juga sangat mampu terlibat dalam dialog yang bermakna dengan publik.

Secara akademis, komunikasi dapat dikonseptualisasikan dalam berbagai cara: sebagai tindakan satu arah (model linear), sebagai interaksi (menekankan sebab-akibat dengan umpan balik), atau sebagai proses transaksional (berfokus pada pembentukan makna yang lebih dalam dan bersama).

Model komunikasi awal, seperti model linear Shannon & Weaver, terutama berfokus pada transmisi pesan teknis, sementara model yang lebih maju seperti model interaktif Schramm memperkenalkan elemen penting umpan balik dan & bidang pengalaman & baik pengirim maupun penerima.

Model transaksional Barnlund lebih lanjut menyoroti pengaruh mendalam dari konteks sosial, relasional, dan budaya dalam proses pertukaran pesan dan pembangunan hubungan.

Ke depan, infrastruktur komunikasi pemerintahan perlu diperkuat.

Mulai dari pelatihan komunikasi publik bagi pejabat, pembentukan tim komunikasi strategis lintas lembaga, hingga penunjukan juru bicara nasional yang dapat menyampaikan pesan resmi secara konsisten.

Tanpa perbaikan yang serius, blunder komunikasi akan terus terjadi—dan lebih dari sekadar menjadi bahan candaan di media sosial, hal tersebut bisa menjadi ancaman serius terhadap kepercayaan publik.

Dalam dunia yang semakin terhubung, kepercayaan adalah mata uang utama. Dan sekali hilang, membangunnya kembali jauh lebih sulit dari sekadar menyusun ulang strategi komunikasi. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved