Standar Garis Kemiskinan Dinilai Tak Realistis, MPBI DIY Desak Pemerintah Lakukan Reformulasi

Penetapan garis kemiskinan nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menuai kritik dari kalangan pekerja. 

TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
BERITA JOGJA - Penetapan garis kemiskinan nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menuai kritik dari kalangan pekerja.  

TRIBUNJOGJA.COM - Penetapan garis kemiskinan nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menuai kritik dari kalangan pekerja. 

Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, menilai standar tersebut terlalu rendah dan tidak mencerminkan kenyataan hidup masyarakat miskin di Indonesia.

"Garis Kemiskinan sebesar Rp 609.160 per bulan atau Rp 20.300 per hari itu terlalu rendah dan tidak kontekstual," ujar Irsad, Minggu (27/7). 

Menurutnya, angka tersebut jauh dari mencukupi, apalagi bila memperhitungkan kebutuhan non-makanan seperti sewa tempat tinggal, transportasi, pulsa internet, sekolah, dan kesehatan.

Berdasarkan perhitungan BPS, porsi kebutuhan non-makanan hanya 25 persen dari total garis kemiskinan, yaitu sekitar Rp 152 ribu per bulan atau Rp 5.000 per hari. 

Irsad menyebut angka ini "secara rasional tidak mungkin" menutupi kebutuhan pokok non-pangan harian masyarakat miskin.

Lebih lanjut, Irsad mempertanyakan keputusan pemerintah yang belum mengadopsi standar baru dari Bank Dunia untuk garis kemiskinan ekstrem, yakni US$ 3 per hari atau sekitar Rp 48 ribu. 

"Langkah ini patut dikritisi. Meski katanya demi konsistensi data, kenyataannya justru menghambat akurasi pemetaan kemiskinan ekstrem," ujarnya.

Menurutnya, pengabaian terhadap standar global ini bisa menghasilkan kebijakan yang tidak tepat sasaran karena ukuran masalah yang keliru akan melahirkan solusi yang keliru pula.

MPBI DIY juga mengkhawatirkan penggunaan angka garis kemiskinan yang rendah secara "resmi" dapat dimanfaatkan secara politis. 

"Itu bisa memberi kesan bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan, padahal kenyataannya di lapangan bisa jauh lebih buruk," kata Irsad.

Ia menyinggung Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 yang menunjuk BPS sebagai lembaga pengukur capaian pengentasan kemiskinan. 

"Kalau metodologinya tetap seperti sekarang, hasil akhirnya bisa bias atau dapat dipandang sebagai target politik, bukan kebutuhan rakyat," tambahnya.

MPBI DIY mengusulkan tiga langkah perbaikan, pertama Pemerintah dan BPS perlu mengkaji ulang pendekatan kebutuhan dasar agar garis kemiskinan mencerminkan realitas ekonomi dan sosial saat ini.

Kedua, perlu ada transparansi publik dalam penyusunan metodologi, termasuk partisipasi akademisi dan masyarakat sipil.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved