Geger Sepehi di Jogja

213 Tahun Geger Sepehi, Trah Sri Sultan HB II Desak Pengembalian Aset yang Dijarah Inggris

Keluarga atau trah Sri Sultan HB II pun mendesak pemerintah agar segera membentuk Komite Pengembalian Aset (Claiming Equity).

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
TRAH HB II: Perwakilan keluarga, atau Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II, saat menemui Menteri HAM Natalius Pigai, beberapa waktu lalu. 

TRIBUNJOGJA.COM - Tepat 213 tahun yang lalu, pada 19-20 Juni 1812, peristiwa getir yang dikenal dengan sebutan Geger Sepehi, terjadi di tanah Yogyakarta.

Geger Sepehi merupakan insiden penyerbuan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh pasukan Inggris, yang bertujuan menggulingkan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kala itu bertahta.

Penyerbuan dilangsungkan setelah Ngarsa Dalem secara tegas menolak tawaran kerja sama dengan pemerintahan kolonial Inggris yang baru. 

Dalam peristiwa tersebut, terjadi penjarahan besar-besaran harta benda Kraton, yang berdampak pada raibnya naskah-naskah berharga, serta perubahan tatanan kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta.

Pada momentum peringatan 213 tahun Geger Sapehi di 2025 ini, keluarga atau trah Sri Sultan HB II pun mendesak pemerintah agar segera membentuk Komite Pengembalian Aset (Claiming Equity).

Tujuannya jelas, mendorong pengembalian harta benda dan manuskrip milik Kraton Yogyakarta yang dirampas selama Geger Sepehi dan masa penjajahan. 

Aset-aset yang dirampas antara lain, berupa keping emas, koin perak senilai Rp8,36 triliun lebih, serta 7.000-an naskah kuno milik Sri Sultan HB II

Ketua Yayasan Vasatii Socaning Lokika, sekaligus Trah Sri Sultan HB II, Fajar Bagoes Poetranto, menuturkan, peristiwa Geger Sepehi merupakan kejahatan kemanusiaan.

"Sehingga, kami akan menjadi bagian bersama Kraton Yogyakarta, serta pemerintah RI, untuk melakukan upaya pengembalian aset-aset milik Sri Sultan HB II," katanya, melalui keterangan tertulis, Rabu (18/6/25).

Upaya klaim tersebut, lanjutnya, sudah mendapat dukungan pemerintah, melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Menteri HAM Natalius Pigai. 

Namun, pihak Trah Sri Sultan HB II ingin meluruskan pernyataan kedua menteri itu, terkait penggunaan istilah Repatriat Equity Claiming atau Reclaiming.

Fajar mengungkapkan, pemerintah semestinya melakukan Claiming Equity Prasasti International, atau proses pengembalian hak-hak aset kepemilikan dari keluarga yang telah dirampas secara unlawful.

"Kita ingin meluruskan bahwa ini bukan proses Repatriasi. Karena ini penting. Kita dukung upaya pemerintah, tapi dengan cara Claiming Equity Prasasi Internasional," tegasnya.

"Sebab, keseluruhan aset dan manuskrip itu jelas milik kita sebagai bangsa, milik Kraton Yogyakarta, dan milik Sultan HB II yang telah dirampas," pungkas Fajar. (aka)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved