Mimpi Punya Rumah di Yogyakarta
Kisah Pejuang KPR di Tengah Kenaikan NPL: Cicilan Tetap Jalan Walau Nafas Tersengal
Dengan cicilan Rp 3 juta-an per bulan, Lukman menyebut kondisi sekarang membuatnya harus benar-benar menata ulang keuangan keluarga.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM - Bagi sebagian orang, rumah adalah impian. Namun bagi mereka yang sedang mencicil rumah lewat Kredit Pemilikan Rumah (KPR), rumah adalah perjuangan.
Setiap bulan, sebagian besar penghasilan dipertaruhkan demi satu hal: memastikan atap itu tetap milik mereka.
Namun perjuangan itu kini makin berat. Data Bank Indonesia mencatat, rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) KPR pada Februari 2025 mencapai 2,99 persen - angka tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pada Januari 2025 NPL tercatat 2,88 persen, sementara pada 2021 berada di level 2,94 persen.
Baca juga: Dilematisnya Pejuang KPR di Jogja, Antara Ekonomi Lesu dan Harga Rumah yang Tak Terjangkau
Lukman, karyawan swasta di Yogyakarta, sudah lima tahun mencicil rumah tipe 45 di daerah Godean. Ia dan istrinya sepakat untuk tidak menunda pembayaran KPR meski harus mengorbankan gaya hidup.
“Biasanya bisa makan di luar seminggu dua kali, sekarang sebulan sekali pun mikir. Cicilan rumah enggak boleh telat, karena ini satu-satunya investasi jangka panjang yang kami punya,” ujarnya, Sabtu (20/4/2025).
Dengan cicilan Rp 3 juta-an per bulan, Lukman menyebut kondisi sekarang membuatnya harus benar-benar menata ulang keuangan keluarga.
“Gaji naiknya tipis, tapi harga kebutuhan terus naik. Tapi ya, kami tetap bertahan,” ucapnya.
Di sudut lain kota, Rani (31), seorang staf sekolah dasar di Bantul, menyebut rumah yang ia cicil sendirian sejak tiga tahun lalu sebagai “medan hidup dan mati”.
“Orang pikir, perempuan lajang beli rumah itu keren. Padahal realitanya, saya harus menyisihkan lebih dari sepertiga gaji hanya untuk cicilan,” katanya.
Ia mencicil rumah subsidi senilai Rp 180 juta dengan tenor 20 tahun.
“Saya enggak punya siapa-siapa untuk bantu. Tapi saya enggak mau selamanya ngontrak. Ini harga yang saya bayar untuk kemandirian,” katanya.
Hendro (46), seorang pegawai kontrak di sebuah instansi pemerintah, menyebut dirinya mulai goyah dalam komitmen membayar KPR.
“Dulu saat mulai KPR, kondisi ekonomi stabil. Sekarang cicilan masih jalan, tapi saya mulai cemas. Kontrak kerja saya tahunan. Kalau tidak diperpanjang, saya tidak tahu harus bagaimana,” ujarnya.
Hendro sudah mencicil selama tujuh tahun, namun sisa pokok utang masih besar. Ia kini mulai berkonsultasi dengan pihak bank untuk kemungkinan restrukturisasi.
“Saya masih ingin bertahan. Tapi realitas ekonomi kadang tidak memberi ruang,” katanya.
Bagi para pejuang KPR, rumah bukan sekadar aset fisik, melainkan simbol ketekunan, pengorbanan, dan impian.
Mereka bukan sekadar nasabah bank, tapi penjaga mimpi, yang setiap bulan menahan keinginan pribadi demi memastikan satu hal: rumah itu tetap milik mereka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.