Mimpi Punya Rumah di Yogyakarta
Dilematisnya Pejuang KPR di Jogja, Antara Ekonomi Lesu dan Harga Rumah yang Tak Terjangkau
Salah satunya Ardan, seorang karyawan Swasta di Kota Yogyakarta. Tanggungan KPR mewajibkannya merogoh kocek kisaran Rp2 juta per bulan.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM - Kemampuan nasabah membayar cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dewasa ini tercatat terus mengalami penurunan.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rasio kredit macet atau non-performing loan per Februari 2025, sudah menyentuh angka 2,99 persen.
Fenomena itu dirasakan pula oleh para pejuang KPR di Kota Yogyakarta. Selaras dengan perekonomian yang melesu, kemampuan untuk membayar cicilan rumah pun praktis menurun.
Salah satunya Ardan, seorang karyawan Swasta di Kota Yogyakarta. Tanggungan KPR mewajibkannya merogoh kocek kisaran Rp2 juta per bulan.
"Dulu waktu ambil rumah, sekitar tahun 2018 ya, uang segitu istilahnya, bisa diusahakan lah. Tapi, sekarang terus terang berat," ucapnya, Senin (21/4/25).
Dijelaskan, ketika memutuskan mencicil rumah dengan sistem KPR di pinggiran Kabupaten Bantul, usaha sampingannya masih melaju mulus.
Namun, seiring berjalannya waktu, usaha sampingan yang digelutinya semakin seret, sehingga penghasilan utama menjadi satu-satunya senjata.
"Padahal, kalau hanya mengandalkan uang gaji, ya ngga akan cukup. Dihitung saja, UMP di Yogyakarta sekarang berapa, cicilan rumah berapa, belum lagi cicilan lainnya," keluhnya.
Meski demikian, dengan situasi perekonomian yang semakin berat, Ardan tetap berupaya menyelesaikan kewajiban KPR setiap bulannya.
Ia memastikan, sampai sejauh ini, pembayaran cicilan KPR melalui salah satu bank daerah di Yogyakarta, tidak pernah mengalami keterlambatan.
"Sebisa mungkin tidak terlambat. Saya mengerahkan segala daya dan upaya, istilahnya begitu. Tapi, ya harus mode ngirit maksimal. Mengurangi jajan-jajan dan sebagainya," katanya.
Karyawan swasta di Yogyakarta lainnya, Jumadi, mengaku paham betul, bahwa upaya pengadaan properti dengan jalur kredit memang penuh risiko.
Hanya saja, ia tidak mempunyai pilihan lain, karena harga tanah di Yogyakarta dewasa ini sudah melambung sangat tinggi dan nyaris tidak terjangkau oleh kalangannya.
"Jalan terakhir cuma KPR. Mau bagaimana lagi, kalau mau punya rumah, ya harus mencicil. Sadar kok, sejak awal, pasti bakalan berat," terangnya.
Oleh sebab itu, ia pun memilih jalur KPR syariah, dengan bunga tetap atau flat sekitar 11 persen, sepanjang jangka waktu pelunasan 10 tahun.
Terbukti, sampai sejauh ini, terhitung sejak mulai mengambil rumah kisaran tahun 2020, cicilan berhasil dibayarkannya nyaris tanpa kendala.
"Kalau ngga syariah, bunganya ketika masuk tahun ke lima pasti naik banget. Nah, itu sudah saya antisipasi. Setiap bulan saya nyicilnya sekitar Rp2,4 juta," ungkapnya. (aka)
Jadwal Pembukaan Pasar Kangen Jogja Kamis 18 September 2025 |
![]() |
---|
Rencana Revitalisasi dan Penataan Keramba Waduk Rowo Jombor Klaten |
![]() |
---|
Rumah Remaja Magelang Didatangi Polisi Seusai Lapor Salah Tangkap ke Polda |
![]() |
---|
Optimalisasi Kantin Sekolah, Program PKM Dukung Ekonomi dan Lingkungan Sehat |
![]() |
---|
Jelang Kompetisi Bergulir, Ini Kesiapan Tim EPA PSIM Yogyakarta |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.