Mengapa Warga Karangturi Klaten Bisa Menjadi Korban Keracunan? Ini Kata PSPG UGM
Sebanyak 152 warga Desa Karangturi, Klaten, Jawa Tengah menjadi korban keracunan setelah menyantap nasi kotak dalam hajatan wayangan
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
Sri Raharjo menggambarkan jika untuk hajatan tersebut dibuat 200-300 box, dan tiap kotak berisi sekitar 50 gram daging maka membutuhkan 10-15 kg daging segar.
Daging sebanyak itu dimasak beserta bumbunya mungkin menggunakan peralatan masak ukuran rumah tangga, dan biasanya tidak rampung dalam sekali masak.
Kemungkinannya, kata dia, dimasak 3-5 kali. Hal ini berarti masakan yang pertama dilakukan awal pagi (misal jam 07.00) di hari yang sama atau mungkin dimasak sehari sebelumnya. Kondisi ini tentu berisiko karena ada jeda waktu lebih dari 10 jam hingga dikonsumsi.
“Kalaupun tersedia alat masak yang besar dan dapat dipergunakan untuk memasak 10-15 kg daging sekali masak maka inipun berisiko panas tidak merata untuk mematangkan beberapa potong daging sehingga tidak cukup untuk mematikan bakteri atau melemahkan toksin yang mungkin sudah mencemari daging dengan level yang cukup tinggi akibat kondisi daging segar yang kurang terjaga,” terangnya.
Sri Raharjo pun membayangkan setelah selesai masak daging dan krecek yang kemudian dimasukkan ke dalam nasi kotak maka sajian tentunya baru dikonsumsi oleh warga pada malam hari sekitar jam 19.00-20.00.
Jika memang begitu, ada interval waktu 12 jam hingga makanan dikonsumsi warga.
“Tentu dimakan di malam hari karena hajatan wayangan. Jika proses memasak dalam jumlah besar, dimungkinkan panasnya tidak tuntas mematangkan masakan, dan berisiko masih menyisakan sedikit bakteri atau toksin penyebab sakit,” paparnya.
Sekali lagi, menurut Sri Raharjo, dengan jeda waktu 12 jam cukup waktu bagi bakteri berkembang biak lagi hingga mencapai jumlah yang membahayakan konsumen.
Mereka yang mengonsumsi rendang daging atau krecek boleh jadi tidak mengalami sakit perut, muntah, ataupun diare karena kondisi kesehatannya baik, sedangkan warga yang menjadi korban keracunan bisa jadi ketika mengonsumsi kondisi kesehatannya kurang baik alias daya tahan tubuhnya melemah.
Bagi Sri Raharjo, tidak menutup kemungkinan peristiwa semacam ini akan menimpa kembali masyarakat di waktu yang akan datang di tempat yang berbeda.
Agar aman mengonsumsi makanan di acara hajatan yang disiapkan secara gotong royong oleh warga. Ia menyarankan diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar.
Selain itu, perlu diperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam.
“Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan,” pungkasnya. (Ard)
Ahli Gizi UGM Prof. Lily Ungkap Pentingnya Serat untuk Kesehatan dan Tumbuh Kembang |
![]() |
---|
Kupas Tuntas Sawit: Kepala PSPG UGM Luruskan Mitos Tentang Sawit dan Sorot Perannya bagi Indonesia |
![]() |
---|
Alasan Polisi Hentikan Penyelidikan Kasus Keracunan Massal di Klaten |
![]() |
---|
Fakta Baru Kasus Keracunan Massal di Karangturi Klaten, Sampel Makanan Ditemukan Bakteri Salmonella |
![]() |
---|
Status KLB Keracunan Massal di Karangturi Klaten Dicabut |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.