Penerimaan Pajak Indonesia Rendah, Ini Kata Ekonom UGM

Rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah standar internasional

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Dok. Istimewa
PENERIMAAN PAJAK: Ilustrasi pajak. Ekonom UGM Dr. Rijadh Djatu Winardi menuturkan kinerja penerimaan pajak di Indonesia dianggap buruk disebabkan beberapa faktor. 

Ekonomi bawah tanah ini merupakan bagian dari aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi dalam sistem statistik nasional, baik karena sengaja disembunyikan untuk menghindari pajak dan regulasi, maupun karena bersifat informal.

“Untuk masalah tax ratio sebabnya salahnya adalah karena misalnya di 2024 ada sebanyak 47 persen perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Pengumpulan pajak hanya dilakukan pada 53?sis pajak. Selain itu, banyak insentif pajak dan dampak COVID-19 turut memperburuk penerimaan pajak,” tuturnya.

Sebagai perbandingan, Rijadh menyebutkan negara Georgia untuk dijadikan pembelajaran. Georgia berhasil meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dari 12 % menjadi 25 % pada tahun 2008, meskipun di tengah penurunan tarif pajak.

Keberhasilan ini tentu dicapai melalui langkah-langkah tepat, seperti memiliki mandat yang jelas dengan visi dan tujuan yang terdefinisi, mengamankan komitmen politik tingkat tinggi, menyederhanakan sistem pajak dan mengurangi pengecualian untuk meningkatkan transparansi, mereformasi pajak barang dan jasa, serta melakukan reformasi administrasi pajak melalui peningkatan teknologi, pelatihan staf, dan penegakan hukum.

Di sisi lain, rendahnya penerimaan pajak berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Dalam jangka pendek, hal ini mempersempit ruang fiskal, membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program pembangunan strategis seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Akibatnya, proyek penting bisa tertunda, skala program dikurangi, atau anggaran diperketat, yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.

Dalam jangka panjang, ketergantungan pada utang menciptakan kerentanan terhadap gejolak ekonomi global, meningkatkan beban utang dan semakin mempersempit ruang fiskal.

Untuk memperbaiki masalah penerimaan pajak, Rijadh juga menyebutkan beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa dilakukan antara lain memetakan kegiatan ekonomi informal dan bawah tanah, yang selama ini sulit dipantau.

Selain itu, perluasan basis pajak serta peningkatan kepatuhan wajib pajak juga penting untuk mengatasi kesenjangan penerimaan.

“Solusi lain yang bisa dipertimbangkan adalah pajak kekayaan, pajak produksi batu bara, serta windfall tax. Tentunya semua alternatif ini memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will,” pungkasnya. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved