Penerimaan Pajak Indonesia Rendah, Ini Kata Ekonom UGM

Rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah standar internasional

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Dok. Istimewa
PENERIMAAN PAJAK: Ilustrasi pajak. Ekonom UGM Dr. Rijadh Djatu Winardi menuturkan kinerja penerimaan pajak di Indonesia dianggap buruk disebabkan beberapa faktor. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Laporan terbaru Bank Dunia mengungkapkan bahwa kinerja penerimaan pajak di Indonesia tergolong buruk dibandingkan negara-negara tetangga.

Rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah standar internasional yang merekomendasikan minimal 15 persen.

Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah masih menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan pendapatan negara, yang berimplikasi pada beban keberlanjutan fiskal serta kemandirian keuangan.

“Pajak merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah, dan kinerja pemungutan pajak yang baik mencerminkan kemandirian fiskal suatu negara, mengurangi ketergantungan pada utang,” ujar Ekonom UGM Dr. Rijadh Djatu Winardi, Selasa (8/4/2025).

Meskipun lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai rasio utang pemerintah Indonesia sebesar 39,6 persen dari PDB pada Januari 2025 masih tergolong rendah, peningkatan utang tanpa diimbangi dengan peningkatan penerimaan pajak dapat memperburuk beban keuangan negara. 

Dosen FEB UGM ini menuturkan kinerja penerimaan pajak di Indonesia dianggap buruk disebabkan beberapa faktor.

Pertama, Indonesia kehilangan potensi pendapatan pajak hingga Rp546 triliun per tahun akibat ketidakpatuhan pajak, terutama pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

Kesenjangan kepatuhan PPN di Indonesia tercatat mencapai 43,9 persen dari total kewajiban pajak, setara dengan 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Penyebabnya karena ketidakpatuhan wajib pajak, administrasi pajak yang kurang efektif, serta sektor informal,” katanya.

Sementara itu, PPh Badan atau Corporate Income Tax (CIT) juga mengalami kesenjangan besar.

Potensi pendapatan yang hilang dari CIT mencapai Rp160 triliun setiap tahun, setara dengan 33 persen dari CIT Total Tax Liability (CTTL) atau 1,1 persen dari PDB.

Faktor serupa, yakni ketidakpatuhan dan administrasi yang tidak efektif, menjadi penyebab utama dari masalah ini. 

Selain itu, laporan Bank Dunia juga menyebutkan bahwa threshold omzet UMKM yang cukup tinggi, yakni Rp4,8 miliar, turut berperan dalam rendahnya penerimaan pajak. Wajib Pajak (WP) di bawah threshold ini memperoleh tarif PPh Final yang rendah, yaitu 0,5 persen dan tidak wajib memungut PPN.

Kedua, masalah potensi pajak ‘underground economy’ menurutnya sudah cukup lama menjadi perhatian pemerintah.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved