Tuntutan Kampus-kampus di Jogja: Tolak RUU TNI, Jangan Biarkan Dwifungsi Muncul Lagi
Sejumlah kampus di DI Yogyakarta menolak revisi Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
“Perlawanan terhadap RUU TNI ini adalah bentuk perlawanan terhadap kepongahan negara. Negara sudah terlalu pongah dalam membuat peraturan, yang itu barangkali membuat dosen fakultas hukum kebingungan harus mengajarkan apa,” ujar Zaenal dalam diskusi di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu (19/3/2025).
Selain kepongahan, ia juga menyoroti adanya mismanajemen dalam pengelolaan jabatan di TNI.
Saat ini, Indonesia memiliki surplus 419 jenderal, yang seharusnya diatasi dengan reformasi manajemen ketentaraan, bukan dengan menempatkan mereka dalam jabatan-jabatan sipil.
Zaenal membandingkan dengan sistem di Amerika Serikat, di mana posisi tertinggi adalah jenderal, tetapi yang lebih banyak mengisi struktur adalah kolonel.
“Kita ini seperti keledai dungu yang jatuh ke lubang yang sama kalau kita biarkan dwifungsi ABRI bangkit kembali,” tegasnya.
Zaenal juga membantah anggapan bahwa kebangkitan dwifungsi ini identik dengan Orde Baru secara utuh. Menurutnya, otoritarianisme tidak pernah hadir dalam bentuk yang sama, melainkan beradaptasi dengan zaman.
Baca juga: UII Tolak RUU TNI, Ajak Akademisi Cegah Dwifungsi ABRI Terjadi Lagi
“Yang menurut saya, maaf, agak tolol adalah mereka yang mengatakan Orde Baru tidak akan dibangkitkan kembali. Neo-otoritarianisme tidak pernah sama. Namun, yang terjadi adalah pengulangan paradigma dengan cara baru,” jelasnya.
Karena itu, ia menekankan pentingnya memperkaya wacana sebelum mengambil keputusan terkait RUU TNI.
Meski DPR telah menyatakan ada tiga poin yang akan direvisi, Zaenal mengingatkan bahwa perubahan tersebut tidak boleh mengurangi urgensi diskusi lebih lanjut.
“Ada tiga hal yang diubah, salah satunya mengaktifkan TNI di berbagai lembaga sipil. Tapi, mari kita diskusikan dulu, benar tidak itu diperlukan?” katanya.
Isu lain yang ia soroti adalah aturan usia pensiun yang dibuat dalam beberapa kasta.
Menurutnya, di negara demokrasi, keputusan semacam ini harus melalui kajian mendalam, bukan sekadar konklusi yang dibuat lebih dulu lalu dicari justifikasinya.
“Biasakan dalam negara demokrasi, jangan konklusi mendahului analisa. Sudah ada konklusi duluan kalau ada dwifungsi, baru analisanya dicari-cari. Mari kita lakukan analisa dulu, baru konklusi yang tepat,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Zaenal memperingatkan agar publik tetap waspada, terutama di bulan Ramadan.
Menurutnya, pemerintah bisa saja memanfaatkan momentum ini untuk meloloskan RUU secara diam-diam saat perhatian masyarakat terpecah.
“Ini adalah pertarungan antara kewarasan dengan daya tahan kita sebagai orang yang melakukan perbaikan. Jangan sampai negara menelikung melalui agenda ‘mumpung libur’ terus disahkan,” tandasnya.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari / Ardhike Indah )
Dana Bantuan Parpol di Sleman Diusulkan Naik Hingga 140 Persen, Ini Tanggapan Akademisi UGM |
![]() |
---|
Klarifikasi Pihak Vidio dan IEG Kasus Siaran Liga Inggris di Klaten Berujung Lapor ke Polisi |
![]() |
---|
Status Mahasiswa Magister UGM Kampus Jakarta Jadi Aktor Intelektual Pembunuhan Kacab Bank |
![]() |
---|
Kota Terbuat dari Rindu, Faktanya Yogyakarta Justru Jadi Kota dan Provinsi Kesepian di Indonesia |
![]() |
---|
Viral Tunjangan Rumah 50 Juta, Nafa Urbach Kini Janjikan Gaji-Tunjangan untuk Guru di Dapilnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.