Tuntutan Kampus-kampus di Jogja: Tolak RUU TNI, Jangan Biarkan Dwifungsi Muncul Lagi
Sejumlah kampus di DI Yogyakarta menolak revisi Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Sejumlah kampus di DI Yogyakarta menolak revisi Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). RUU TNI itu dinilai bisa membangkitkan dwifungsi militer yang sudah diredam sejak era reformasi.
Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, menggelar aksi penolakan, Selasa (18/3/2025) di Balairung UGM yang dihadiri sejumlah civitas akademika.
Di hari Rabu (19/3/2025), UII turut menggelar aksi serupa untuk menekankan penolakan RUU TNI di Kampus UII.
Dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman, menilai aksi di Balairung UGM itu memiliki penanda yang jelas: wakil rakyat enggan mendengar aspirasi yang sudah banyak disuarakan di ruang publik.
Dalam orasinya, Herlambang menegaskan bahwa revisi UU TNI justru berisiko mengikis supremasi sipil dengan membuka ruang bagi militer untuk menduduki jabatan di pemerintahan sipil.
“Aksi ini bertujuan untuk menolak dwifungsi militer, melawan militerisme, dan mengingatkan penguasa yang semakin sulit mendengar suara rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, tidak ada urgensi dalam revisi UU TNI. Justru, masih banyak undang-undang lain yang lebih penting untuk diperbaiki atau dibentuk.
“Kalau bicara kesejahteraan, itu bukan hanya untuk anggota TNI. Kita tahu mereka juga perlu sejahtera, tetapi kesejahteraan harus berlaku bagi seluruh warga negara,” tegasnya.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Ahmad Munjid, menegaskan bahwa supremasi sipil dan kesetaraan di hadapan hukum adalah prinsip mendasar yang harus menjadi pijakan dalam berpikir kenegarawanan.
“Prinsip ini adalah dasar negara hukum demokratis dan secara eksplisit dijamin dalam UUD 1945. TNI, beserta aturan yang mengaturnya, harus tunduk pada konstitusi,” ujarnya saat membacakan pernyataan sikap Kampus Jaga Reformasi, Tolak Dwi Fungsi.
Munjid mengingatkan bahwa prinsip tersebut menjadi bagian penting dari semangat reformasi 1998, yang telah dituangkan dalam TAP MPR Nomor X Tahun 1998, TAP MPR Nomor VI Tahun 1999, dan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000.
“Pelanggaran hukum yang dilakukan anggota militer harus diproses dalam sistem hukum pidana sipil. Jika hal mendasar ini saja tidak ditegakkan, maka wajar jika TNI terus melakukan kesewenang-wenangan tanpa pertanggungjawaban hukum atau impunitas,” tegasnya.
Menurutnya, selama sistem hukum masih memberikan impunitas kepada TNI, pembahasan mengenai peran institusi ini menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, tidak ada urgensi untuk merevisi UU TNI.
Terlebih lagi, ia menyoroti proses revisi yang dilakukan secara tertutup dan berlangsung di hotel mewah, bukan di gedung DPR.
“Ini jelas mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi soal pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan hukum. Publik berhak didengar, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan dalam proses legislasi,” katanya.
Dana Bantuan Parpol di Sleman Diusulkan Naik Hingga 140 Persen, Ini Tanggapan Akademisi UGM |
![]() |
---|
Klarifikasi Pihak Vidio dan IEG Kasus Siaran Liga Inggris di Klaten Berujung Lapor ke Polisi |
![]() |
---|
Status Mahasiswa Magister UGM Kampus Jakarta Jadi Aktor Intelektual Pembunuhan Kacab Bank |
![]() |
---|
Kota Terbuat dari Rindu, Faktanya Yogyakarta Justru Jadi Kota dan Provinsi Kesepian di Indonesia |
![]() |
---|
Viral Tunjangan Rumah 50 Juta, Nafa Urbach Kini Janjikan Gaji-Tunjangan untuk Guru di Dapilnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.