Akademisi di Jogja Tolak Revisi UU TNI: Tak Ada Urgensinya
Mereka bersolidaritas bersama, menyampaikan pendapat di mimbar bebas tentang mengapa Revisi UU TNI perlu ditolak.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Sejumlah civitas akademika di Yogyakarta berkumpul di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk menyampaikan penolakan terhadap revisi Undang-undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Kamis (18/3/2025).
Mereka bersolidaritas bersama, menyampaikan pendapat di mimbar bebas tentang mengapa Revisi UU TNI perlu ditolak.
Massa aksi yang hadir tidak hanya mahasiswa, tapi juga dosen dan pekerja yang menilai revisi UU TNI perlu ditolak.
Mereka yang hadir membawa poster dengan ragam tulisan, diantaranya ‘#TolakRUUTNI’ hingga ‘Kembalikan Tentara ke Barak’.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid yang turut hadir di aksi itu, menegaskan sikap kampusnya dalam menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah menjadi perdebatan publik.
Menurutnya, penolakan adalah bentuk solidaritas dan kewarasan kolektif dalam menjaga nilai demokrasi dan hak sipil di Indonesia.
“Ini bentuk solidaritas, menghubungkan akal sehat antarlembaga di Jogja, untuk menyuarakan kegelisahan karena aspirasi sudah cukup lama beredar di ruang publik, ternyata diabaikan begitu saja,” ujar Fathul kepada wartawan,
Fathul mengingatkan bahwa Indonesia pernah mengalami masa di mana militer memiliki fungsi ganda dalam pemerintahan, dwifungsi ABRI, yang menyisakan banyak luka bagi masyarakat sipil. Ia menegaskan, UII tidak ingin masa kelam tersebut terulang kembali.
“Tampaknya kita bisa membaca lagi sejarah, ketika dwifungsi yang kita sesali saat itu, mulai dari supremasi militer, yang itu sangat mungkin bermuara pada represi sipil. Terus kemudian, yang lain juga ada banyak kekerasan yang tidak ingin itu terjadi lagi,” lanjutnya.
Rektor UII menekankan bahwa sejarah seharusnya menjadi pengingat bagi bangsa ini untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Oleh karena itu, ia menegaskan, kampusnya bersama dengan civitas akademika lain berdiri di barisan yang menolak revisi UU TNI demi menjaga masa depan demokrasi Indonesia.
“UII sepakat, menolak RUU TNI untuk kebaikan bangsa,” tegasnya.
Baca juga: Mahasiswa di Jogja Khawatir Revisi UU TNI Berpotensi Ancam Demokrasi dan Supremasi Sipil
Dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman, menilai aksi siang ini memiliki penanda yang jelas: wakil rakyat enggan mendengar aspirasi yang sudah banyak disuarakan di ruang publik.
Dalam orasinya, Herlambang menegaskan bahwa revisi UU TNI justru berisiko mengikis supremasi sipil dengan membuka ruang bagi militer untuk menduduki jabatan di pemerintahan sipil.
“Aksi ini bertujuan untuk menolak dwifungsi militer, melawan militerisme, dan mengingatkan penguasa yang semakin sulit mendengar suara rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, tidak ada urgensi dalam revisi UU TNI. Justru, masih banyak undang-undang lain yang lebih penting untuk diperbaiki atau dibentuk.
“Kalau bicara kesejahteraan, itu bukan hanya untuk anggota TNI. Kita tahu mereka juga perlu sejahtera, tetapi kesejahteraan harus berlaku bagi seluruh warga negara,” tegasnya.
Impunitas TNI, RUU Tak Relevan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Ahmad Munjid, menegaskan bahwa supremasi sipil dan kesetaraan di hadapan hukum adalah prinsip mendasar yang harus menjadi pijakan dalam berpikir kenegarawanan.
“Prinsip ini adalah dasar negara hukum demokratis dan secara eksplisit dijamin dalam UUD 1945. TNI, beserta aturan yang mengaturnya, harus tunduk pada konstitusi,” ujarnya saat membacakan pernyataan sikap Kampus Jaga Reformasi, Tolak Dwi Fungsi.
Munjid mengingatkan bahwa prinsip tersebut menjadi bagian penting dari semangat reformasi 1998, yang telah dituangkan dalam TAP MPR Nomor X Tahun 1998, TAP MPR Nomor VI Tahun 1999, dan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000.
“Pelanggaran hukum yang dilakukan anggota militer harus diproses dalam sistem hukum pidana sipil. Jika hal mendasar ini saja tidak ditegakkan, maka wajar jika TNI terus melakukan kesewenang-wenangan tanpa pertanggungjawaban hukum atau impunitas,” tegasnya.
Menurutnya, selama sistem hukum masih memberikan impunitas kepada TNI, pembahasan mengenai peran institusi ini menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, tidak ada urgensi untuk merevisi UU TNI.
Terlebih lagi, ia menyoroti proses revisi yang dilakukan secara tertutup dan berlangsung di hotel mewah, bukan di gedung DPR.
“Ini jelas mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi soal pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan hukum. Publik berhak didengar, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan dalam proses legislasi,” katanya.
Ia juga menyoroti isi draf revisi yang berpotensi melemahkan independensi peradilan dan memperkuat kekebalan hukum anggota TNI.
“Revisi ini bukan hanya kemunduran dalam demokrasi, tetapi juga merusak tatanan reformasi TNI. Menarik kembali TNI ke dalam jabatan sosial, politik, dan ekonomi justru semakin menjauhkan mereka dari profesionalisme yang diharapkan. Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis,” pungkasnya.
Jika diterapkan, Munjid memperingatkan bahwa kebijakan ini akan membawa bangsa kembali ke keterpurukan otoritarianisme ala Orde Baru.
Poin pernyataan sikap civitas akademika UGM:
1. Menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU TNI yang tidak transparan, terburu-buru, dan mengabaikan suara publik karena hal tersebut merupakan kejahatan konstitusi.
2. Menuntut Pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati Agenda Reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum, serta menolak dwifungsi TNI/Polri.
3. Menuntut TNI/Polri, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik.
4. Mendesak seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi, dan kembali menegakkan Agenda Reformasi.
5. Mendorong dan mendukung upaya Masyarakat Sipil menjaga Agenda Reformasi dengan menjalankan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja Pemerintah dan DPR. (*)
Dana Bantuan Parpol di Sleman Diusulkan Naik Hingga 140 Persen, Ini Tanggapan Akademisi UGM |
![]() |
---|
Status Mahasiswa Magister UGM Kampus Jakarta Jadi Aktor Intelektual Pembunuhan Kacab Bank |
![]() |
---|
UGM Nonaktifkan Mahasiswa Pelaku Penculikan dan Pembunuhan Kacab Bank BUMN |
![]() |
---|
98,8 Persen Siswa SMAN 3 Yogyakarta Tembus Perguruan Tinggi Impian, Mayoritas ke UGM |
![]() |
---|
Pakar UGM: Soal Royalti, Perlu Transparansi Pengelolaan Dananya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.