Ekonom UGM Sarankan MBG Diprioritaskan untuk Daerah dengan Tingkat Food Insecurity Tinggi

Agar lebih efektif, ia pun, menyarankan agar pemerintah memprioritaskan daerah dan sekolah dengan tingkat food insecurity tertinggi. 

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Tribunjogja.com/Ahmad Syarifudin
KATA PAKAR: Ilustrasi. Ekonom UGM menyarankan MBG diprioritaskan untuk daerah rentan atau anak kurang mampu. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah masih terus menuai pro dan kontra di masyarakat. 

Program yang di awal memerlukan pendanaan Rp71 triliun ini memangkas anggaran dari sektor-sektor lain. 

Kondisi ini mengkhawatirkan banyak pihak karena ada potensi, secara pembiayaan, akan terus membengkak, dan beberapa sektor penting akan terdampak akibat pemangkasan anggaran, seperti sektor pendidikan dan kesehatan.

Ekonom, sekaligus Koordinator bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (Equitas) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D menilai, program MBG menghadapi tantangan besar terutama dalam aspek distribusi dan pengadaan bahan makanan. 

Ia menyebut program berskala nasional ini berisiko mengalami pemborosan karena sifatnya yang universal, di mana anak-anak dari keluarga mampu juga menerima manfaatnya meskipun sebenarnya tidak membutuhkan. 

“Sulitnya pemantauan terhadap kualitas makanan juga menjadi tantangan tersendiri. Sulit untuk memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar gizi dan kualitas yang ditetapkan,” terangnya, Selasa (11/3/2025).

Wisnu berpendapat untuk mendukung keberhasilan program ini perlu kiranya pemerintah belajar dari negara lain yang telah menjalankan program yang sama. 

Seperti program pemberian makan gratis bagi anak sekolah yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat.

Di AS, disebutnya, program pemberian makan gratis sebagai bagian dari kebijakan nasional dengan skema Farm to Table, dan program ini didanai oleh Sustainable Agriculture Research and Education (SARE) dan melibatkan petani, peternak, pendidik, serta komunitas-komunitas di Amerika Serikat. 

“Program ini bertujuan untuk mengembangkan sistem distribusi yang lebih inovatif, memberikan akses terhadap makanan lokal yang bergizi kepada anak sekolah, serta membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah sehingga ongkos logistik lebih murah dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih terjamin,” ungkapnya.

Program lain yang dilakukan AS adalah National School Lunch Program (NSLP) yang menyediakan makanan bergizi bagi jutaan anak di Amerika Serikat, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. 

NSLP menetapkan standar gizi sesuai dengan Healthy, Hunger-Free Kids Act (HHFKA) 2010, antara lain menggunakan makanan lokal dan menyesuaikan menu agar lebih sesuai dengan Pedoman Diet Amerika Serikat. 

“Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung program ini, dengan melibatkan dapur dan pemasok makanan lokal yang terpercaya agar kualitas gizi tetap terjaga,” tambahnya.

Wisnu mengingatkan untuk menjamin keberhasilan program semacam ini tentu menuntut pengelolaan yang baik agar tidak merugikan petani kecil dan pebisnis lokal. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved