Pakar UGM Nilai Pemerintah Gagap Respons PHK: Perlu Investasi di Sektor Padat Karya
Tadjuddin memproyeksikan bahwa pekerja yang di-PHK ini bisa jadi akan beralih ke sektor informal, seperti berdagang dan berjualan makanan
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi salah satu masalah besar yang menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Kebijakan pemerintah serta penurunan daya beli masyarakat akibat tekanan ekonomi sejak pandemi Covid-19 disebut menjadi faktor utama penyebab terjadinya PHK di Indonesia.
Dampak PHK ini tentu dirasakan oleh pekerja yang kehilangan mata pencaharian, terutama bagi mereka yang menjadi tulang punggung keluarga.
Baru-baru ini, PT Sri Isman Rejeki (Sritex) resmi berhenti beroperasi per 1 Maret 2025 karena divonis pailit sehingga memicu PHK yang dirasakan oleh 10 ribuan pekerjanya.
Sebelumnya, Yamaha Music Product Asia juga menghentikan operasional dua pabrik yang menyebabkan 1.100 orang di PHK.
Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, M.A., menyatakan penyebab awal terjadinya PHK di Sritex ini adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, yang menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, termasuk tekstil.
“Akibat peraturan tersebut, impor tekstil ke Indonesia meningkat drastis, dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024. Hal ini menyebabkan produk tekstil lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah,” jelasnya, Minggu (9/3/2025).
Banjirnya produk tekstil impor dengan harga rendah ini bukan hanya merugikan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), tetapi juga berdampak pada pabrik-pabrik besar.
Baca juga: Ekonom UGM: Pemerintah Perlu Pastikan Masyarakat Kelas Menengah Punya Daya Beli Kuat
Beberapa pabrik tekstil terkemuka, seperti PT Sritex, terpaksa menutup operasional mereka dan melakukan PHK massal terhadap ribuan karyawan karena penurunan permintaan pasar yang signifikan.
Kondisi ini juga diperburuk oleh menurunnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah, yang masih belum pulih sepenuhnya sejak pandemi.
Melihat situasi yang ada, Tadjuddin memproyeksikan bahwa pekerja yang di-PHK ini bisa jadi akan beralih ke sektor informal, seperti berdagang dan berjualan makanan.
Hal ini sudah terlihat di berbagai kota, seperti Yogyakarta, di mana banyak orang beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup. Ia juga menambahkan bahwa perlu diketahui bahwa pekerjaan di sektor informal ini hanya mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek.
“Tanpa intervensi pemerintah, angka pengangguran bisa meningkat di masa mendatang,” ujarnya. Tadjuddin juga menilai bahwa upaya pemerintah dalam menghadapi krisis PHK ini masih kurang memadai dan tidak konsisten.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah masih lambat dalam merespons gelombang PHK, terutama di sektor tekstil.
Berbulan-bulan Tak Digaji, 32 Karyawan Ngadu ke DPRD Bantul |
![]() |
---|
Dosen UGM: Angka Pengangguran Turun Tak Berarti Kondisi Pasar Naker Membaik |
![]() |
---|
Wacana Kementan Konversi Lahan Karet Jadi Kebun Sawit, Pakar UGM: Monokultur Lemah Berkelanjutan |
![]() |
---|
Pakar UGM Sebut Bahaya Beras Oplosan, Picu Kanker dan Penyakit Organ Vital |
![]() |
---|
Pakar UGM Tanggapi Isu Uni Eropa Terapkan Relaksasi Regulasi Anti Deforestasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.