Sukatani Buka Suara Ada Intimidasi Aparat, Ini Kata Pengamat HAM

Direktur Riset Pusham UII, Despan Heryansyah, menuturkan seharusnya kasus tersebut tidak terjadi di Indonesia sebagai negeri yang beradab

Penulis: Dewi Rukmini | Editor: Yoseph Hary W
Tangkapan Layar Instagram @sukatani.band via kompas.com
KABAR TERKINI: Dua personel Band Sukatani, Muhammad Syifa Al Ufti atau Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki atau Twister Angel (vokalis), meminta maaf kepada institusi Polri atas lagunya yang berjudul Bayar Bayar Bayar melalui akun Instagram @sukatani.band, Kamis (20/2/2025). 

"Jadi sebaiknya institusi kepolisian atau oknum di dalamnya tidak perlu gegabah melakukan intimidasi. Karena bagi saya, lagu seperti itu cukup lumrah," ujarnya. 

Puguh menilai, lagu yang diciptakan band Sukatani bisa saja bentuk ekspresi atas kejadian nyata yang pernah mereka alami. Bedanya, band Sukatani mengekpresikan hal itu secara vulgar khas musik aliran punk lainnya. 

"Harusnya disikapi bijak oleh pemerintah, kepolisian, atau instansi lainnya. Seharusnya ketika dikritik jangan defense berlebihan hingga melakukan intimidasi," kata dia.

Direktur Riset Pusham UII, Despan Heryansyah, menuturkan seharusnya kasus tersebut tidak terjadi di Indonesia sebagai negeri yang beradab dan menghargai demokrasi serta HAM. 

"Artinya kita tidak bergeser banyak dari zaman orba dalam konteks kebebasan berekspresi," tuturnya. 

Ia menilai kejadian itu adalah bukti kelanjutan dari buruknya negara menempatkan dan memaknai seni, setelah kasus pameran lukisan Yos Suprapto.

Dikatakan keduanya memiliki pola sama yakni aparat negara latah kekuasaan. 

"Jika betul dilakukan oleh Polri, maka Polri memperburuk citranya yang memang sedang hangat menjadi perbincangan publik karena isu dominis litis dengan kejaksaan. Publik bisa menilai kepolisian memang perlu dikendalikan," tutur dia.

Sementara itu dari perspektif HAM, pelanggarannya telanjang, kebebasan berekspresi dan kebebasan mengekspresikan seni harusnya menjadi tanggung jawab negara melindunginya. 

"Orang datang ke negara untuk meminta perlindungan, jika kebebasannya terancam. Tapi ini anomali karena justru negara yang diduga menjadi pelakunya. Bayangkan kemana lagi Band Sukatani akan meminta perlindungan? Kalau negara saja justru menjadi pelakunya," ucap dia. 

Terpisah, Dosen Fakultas Hukum HAM UAJY, Johanes Widijantoro, mengungkapkan kejadian itu mengambarkan bahwa pengelolaan negara dalam menjamin kebebasan berekspresi masih belum konsisten. 

"Kasus Sukatani itu menunjukkan bahwa yang namanya kritik ketika masyarakat menyampaikan pikiran gagasan secara lisan, tulisan, dengan karya seni adalah hal wajar dan harus dihormati. Tentu intimidasi jadi bukti konkrit dari pelanggaran HAM. Apalagi dilakukan aparat, jadi sejauh mana aparat punya konsistensi untuk menghormati hak asasi kuta semua," terangnya.

Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Han UII, Eko Riyadi, justru mengapresiasi Propam Polri yang sudah turun memeriksa enam orang anggota Ditreskrimsiber Polda Jateng.

Selain itu Kapolri juga sudah membuat statemen bahwa Band Sukatani dijadikan Duta Kritik untuk Polisi. 

Kendati demikian, Eko berharap pemeriksaan enam anggota Ditreskrimsiber Polda Jateng harus berujung tindakan hukum kepada oknum polisi yang melakukan intimidasi

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved