PSAD UII Nilai 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran: Kabinet Bayangan Jokowi

PSAD Universitas Islam Indonesia (UII) menilai 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di lindungan Joko Widodo

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
setkab.go.id
BAYANGAN JOKOWI: Foto dok Presiden Prabowo Subianto membacakan NAMA 56 Wakil Menteri Kabinet Merah di awal pemerintahannya. PSAD UII menilai 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di lindungan Joko Widodo. 

Dilanjut Masduki, represi terhadap aktivis dan seniman terus bermunculan. Misal, kasus Yos Suprapto yang batal pameran lukisan mengkritik Jokowi di Galeri Nasional, bredel terhadap pers mahasiswa dan hacking/surveillance para aktivis HAM.

Kemudian, kontroversi pagar laut di perairan Tangerang, sertifikat hak guna dan isu Pantai Indah Kapuk 2 sebagai proyek strategis nasional yang menguras energi, juga menjadi insiden buruk di 100 hari kinerja Prabowo-Gibran.

“Menguatnya militerisme, tidak saja semakin banyaknya militer aktif yang menduduki jabatan sipil secara melawan undang-undang, tetapi juga menguatnya nuansa militerisme dalam pemerintahan. Gaya-gaya pemerintahan ala militer, diinfiltrasikan dalam banyak aktivitas kenegaraan yang kental dengan isu sipil dan kerakyatan,” ungkap dia.

Tak hanya itu, izin usaha tambang untuk organisasi masyarakat (ormas) dan kampus, kata Masduki, melawan akal sehat terhadap tugas mulia akademia sebagai pengajar, peneliti dan pengabdi sosial untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

“Kebijakan IUP Ormas sudah memicu kontroversi di era Jokowi dan Prabowo justru melanjutkan langkah ini tanpa beban,” ucapnya.

PSAD UII pun memberikan rekomendasi terhadap kinerja Prabowo-Gibran ke depan.

Pertama, pasca 100 hari kerja, Prabowo Subianto perlu menunjukkan kinerjanya yang orisinal sebagai presiden, bebas dari bayang bayang Jokowi. Menjadi penerus Jokowi sejatinya adalah beban politik bagi Prabowo. 

“Harusnya ia mendorong peradilan atas mantan Presiden Jokowi atas dosa-dosanya melanggar konstitusi dan dugaan penyalahgunaan wewenang, merujuk tuntutan publik atas pengadilan korupsi politik yang telah dilakukan Jokowi,” terang dia.

Kedua, publik khususnya masyarakat sipil harus terus melakukan konsolidasi menuju oposisi non-parlemen menyelamatkan demokrasi sebagai amanat konstitusi dan reformasi 1998.

“Oposisi di parlemen tampaknya sulit terwujud, terutama ketika belakangan PDI-Perjuangan mulai ‘bermain mata’ dengan Prabowo. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus menjadi motor penggerak utama sikap kritis,” tutupnya. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved