PSAD UII Nilai 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran: Kabinet Bayangan Jokowi

PSAD Universitas Islam Indonesia (UII) menilai 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di lindungan Joko Widodo

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
setkab.go.id
BAYANGAN JOKOWI: Foto dok Presiden Prabowo Subianto membacakan NAMA 56 Wakil Menteri Kabinet Merah di awal pemerintahannya. PSAD UII menilai 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di lindungan Joko Widodo. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) menilai 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di lindungan Joko Widodo, presiden periode sebelumnya.

PSAD UII bahkan menulis pernyataan publik dengan judul ‘Di Bawah Lindungan Mulyono’.

Dalam kutipan pembuka, PSAD UII menganalogikan 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran dengan novel legendaris berjudul ‘Di Bawah Lindungan Ka'bah’ karya Buya Hamka (1938).

“Novel itu sangat tepat menjadi inspirasi analogi untuk menggambarkan fakta, bahwa kinerja 100 hari rezim Prabowo Subianto lebih tampak menjadi citra 100 hari kabinet bayangan Mulyono,” buka Direktur PSAD UII, Masduki kepada wartawan, Kamis (30/1/2025).

Diketahui, Mulyono adalah nama lain dari mantan Presiden Joko Widodo.

“Saat ini, sudah era Prabowo Subianto tetapi masih rasa Jokowi yang justru tercatat telah melanggar konstitusi. Prabowo juga tampak lebih senang terasosiasi kepada Jokowi ketimbang kepada publik yang memilihnya,” beber dia.

Ia menyebut, 100 hari adalah periode krusial yang mendapat sorotan publik baik dalam maupun luar negeri karena akan memberi isyarat besar ke arah mana pemerintahan baru akan berjalan. 

Menurutnya, 100 hari bukan lagi momentum retorika politik, tetapi implementasi janji politik yang akan menentukan apakah periode politik berikutnya berpihak kepada kepentingan publik atau tidak. 

“Ada banyak metode memahami 100 hari, baik kuantitatif maupun kualitatif. Catatan dan pernyataan ringkas PSAD ini berbasis data kualitatif, dengan mencermati berita di media massa dan melakukan analisis persepsi/percakapan publik di media sosial,” ungkap Masduki.

Ia menambahkan, indeks demokrasi Indonesia pada sejumlah lembaga survei misalnya Economic Intelligent Unit, Freedom House dan Reporters Without Borders terus menurun sejak 2019 hingga 2024. 

Merujuk beragam indeks tersebut, maka kebebasan sipil dan independensi lembaga peradilan paling menjadi masalah, terutama ketika bersinggungan dengan kepentingan politik penguasa. 

Sejak 2014, Indonesia mengalami apa yang disebut peneliti ISEAS Thomas Power dan Warburton sebagai stagnation to regression of democracy. 

Di sisi lain, mengutip World Population Review, Indonesia masih masuk ke dalam 100 negara paling miskin di dunia, peringkat 73. 

Realita ini, berkelindan pula dengan kualitas penegakan hukum yang carut-marut. 

Tiga hal ini: kemunduran demokrasi, kegagalan penegakan hukum, dan kemiskinan tampaknya saling berkait satu sama lain.

“Hasilnya, dalam 100 hari pertama, Prabowo lebih memilih melaksanakan janji politik populis, misalnya makan bergizi gratis, renovasi sekolah, swasembada pangan dengan skor positif tinggi dan disertai kebijakan akomodasi politik melalui kabinet gemuk ketimbang janji politik strategis merujuk Asta Cita No. 1, yaitu memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi dan HAM,” tutur dia.

Indeks demokrasi Indonesia yang rendah tidak menjadi prioritas untuk diperbaiki, kata Masduki. 

Dia melanjutkan, Presiden Prabowo masih membiarkan lemahnya lembaga peradilan seperti KPK dan rendahnya kebebasan sipil. 

Publik mencatat, kabinet jumbo dan komunikasi politik yang buruk di antara elit kementerian memicu persepsi negatif.

Masduki pun membeberkan bukti kasus berikut ini menunjukkan kebijakan dan gaya politik personal Prabowo yang masih dipengaruhi/melanjutkan Jokowi

“Struktur kabinet Merah Putih didominasi oleh hampir 40 persen loyalis Jokowi. Dari total 48 orang Menteri, ada 17 orang bekas Menteri Jokowi, dan 12 orang diantaranya bahkan tetap di posisi yang sama,” terangnya.

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi pintu masuk kontrol politik Jokowi atas Prabowo. 

Dalam hal jumlah, kata Masduki, Prabowo lebih boros ketimbang Jokowi dalam membangun postur kementerian gemuk, menggambarkan politik akomodasi, balas budi, bagi-bagi kue, bukan berbasis kompetensi.

“Dalam 100 hari, gagasan besar menyangkut isu-isu kebangsaan dan demokrasi nyaris nihil, tertutup oleh isu politik sandera lawan, politik dinasti ala Prabowo. Keponakan Thomas Djiwandono misalnya diangkat menjadi Wakil Menteri,” ucapnya.

Selanjutnya, proyek strategis nasional yang sarat masalah sosial tetap dilanjutkan, misalnya food estate di Merauke, dan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, terbaru masalah Pagar Laut di Tangerang, Banten yang mengkonfirmasi lemahnya institusi negara berhadapan dengan para pemodal oligarkis.

“KPK semakin mengalami stagnasi, menjadi alat pukul kekuasaan untuk membongkar korupsi atau menutupinya. Slogan Prabowo kejar koruptor masih wacana,” tutur dia lagi.

Masduki juga membahas program makan bergizi gratis (MBG).

Ia menilai, MBG sebagai program unggulan memicu banyak masalah. Beberapa diantaranya kualitas makanan yang buruk, pelibatan aparat TNI dalam dapur umum, hingga pendanaan yang terkesan serampangan dan memberatkan rakyat.

“Seperti halnya Jokowi, Prabowo menggunakan buzzer di Istana sebagai juru bicara. Bahkan seorang staf ahli di Komdigi adalah buzzer Jokowi. Pemerintahan Prabowo tidak tampak melibatkan pers/jurnalis agar publikasinya obyektif,” ucapnya lagi.

Dilanjut Masduki, represi terhadap aktivis dan seniman terus bermunculan. Misal, kasus Yos Suprapto yang batal pameran lukisan mengkritik Jokowi di Galeri Nasional, bredel terhadap pers mahasiswa dan hacking/surveillance para aktivis HAM.

Kemudian, kontroversi pagar laut di perairan Tangerang, sertifikat hak guna dan isu Pantai Indah Kapuk 2 sebagai proyek strategis nasional yang menguras energi, juga menjadi insiden buruk di 100 hari kinerja Prabowo-Gibran.

“Menguatnya militerisme, tidak saja semakin banyaknya militer aktif yang menduduki jabatan sipil secara melawan undang-undang, tetapi juga menguatnya nuansa militerisme dalam pemerintahan. Gaya-gaya pemerintahan ala militer, diinfiltrasikan dalam banyak aktivitas kenegaraan yang kental dengan isu sipil dan kerakyatan,” ungkap dia.

Tak hanya itu, izin usaha tambang untuk organisasi masyarakat (ormas) dan kampus, kata Masduki, melawan akal sehat terhadap tugas mulia akademia sebagai pengajar, peneliti dan pengabdi sosial untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

“Kebijakan IUP Ormas sudah memicu kontroversi di era Jokowi dan Prabowo justru melanjutkan langkah ini tanpa beban,” ucapnya.

PSAD UII pun memberikan rekomendasi terhadap kinerja Prabowo-Gibran ke depan.

Pertama, pasca 100 hari kerja, Prabowo Subianto perlu menunjukkan kinerjanya yang orisinal sebagai presiden, bebas dari bayang bayang Jokowi. Menjadi penerus Jokowi sejatinya adalah beban politik bagi Prabowo. 

“Harusnya ia mendorong peradilan atas mantan Presiden Jokowi atas dosa-dosanya melanggar konstitusi dan dugaan penyalahgunaan wewenang, merujuk tuntutan publik atas pengadilan korupsi politik yang telah dilakukan Jokowi,” terang dia.

Kedua, publik khususnya masyarakat sipil harus terus melakukan konsolidasi menuju oposisi non-parlemen menyelamatkan demokrasi sebagai amanat konstitusi dan reformasi 1998.

“Oposisi di parlemen tampaknya sulit terwujud, terutama ketika belakangan PDI-Perjuangan mulai ‘bermain mata’ dengan Prabowo. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus menjadi motor penggerak utama sikap kritis,” tutupnya. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved