Melestarikan Warisan Budaya Tak Benda Melalui Film Dokumenter

Melalui visual yang autentik dan narasi yang mendalam, film dokumenter mampu mengabadikan tradisi, seni, dan kearifan lokal

Penulis: Santo Ari | Editor: Muhammad Fatoni
Dok. Istimewa
Screening dan Awarding Ceremony IchLinks Video Competition yang diadakan pada 21 November 2024 di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Yogyakarta, kota yang sarat sejarah dan budaya menjadi salah satu pusat pengakuan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Indonesia.

Di setiap sudutnya, tradisi dan kearifan lokal hidup berdampingan dengan modernitas seperti seni wayang kulit, keris dan kerajinan batik.

Keunikan ini tidak hanya mencerminkan identitas masyarakat Yogyakarta, tetapi juga menjadi bukti kuat keberagaman budaya Nusantara yang terus lestari.
 
Film dokumenter menjadi medium yang efektif untuk melestarikan budaya di era modern.

Melalui visual yang autentik dan narasi yang mendalam, film dokumenter mampu mengabadikan tradisi, seni, dan kearifan lokal yang mungkin tergerus oleh waktu.

Dokumentasi semacam ini tidak hanya menjadi arsip sejarah, tetapi juga alat edukasi yang memperkenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda dan masyarakat global.

Seperti halnya, Risang Panji Kumoro selaku sutradara dari film dokumenter berjudul ‘Babaran Pusaka’ yang menang dalam IchLinks Video Competition.

Karyanya tersebut, menjadi langkah nyata dalam mendukung upaya pengenalan dan pelestarian Warisan Budaya Tak Benda kepada generasi muda dan masyarakat luas.

Melalui medium video, nilai-nilai penting yang terkandung dalam budaya tak benda dapat dikomunikasikan dengan cara yang relevan dan menarik di era digital ini.

“Dikemas dengan gaya penceritaan yang menarik, karakter yang kuat dan cerita yang tidak membosankan, maka generasi muda bisa tertarik dengan budaya kita melalui film dokumenter,” ujarnya kepada wartawan Jumat (22/11/2024).

Dalam karya ‘Babaran Pusaka’ ia bersama timnya mengangkat keris yang menjadi pusaka di salah satu padukuhan di Sewon, Bantul.

Ia merekam tradisi, di mana keris akan diturunkan dari satu dukuh ke dukuh yang baru.

Dalam film dokumenter tersebut, Risang menggali prosesi perawatan keris yang masih banyak dianggap sebagai sesuatu yang mistis.

“Film ini ingin membicarakan bahwa keris bisa menjadi simbol doa, dan representasi kepemimpinan. Keris dan perawatannya tidak hanya berada di lingkup keraton, tetapi bahkan ada di desa-desa.  Dokumenter ini ingin membicarakan bahwa sebenarnya kita bisa gotong royong untuk merawat keris, agar anak cucu tetap mengenal keris,” ungkapnya.

Baca juga: DIY Raih 37 Sertifikat Warisan Budaya dalam Ajang AWBI 2024

Adapun ichLinks Video Competition, merupakan kompetisi yang diselenggarakan UNESCO, melalui mitra pelaksana Locomotion Art Studio, dengan dukungan International Information and Networking Centre for Intangible Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region under the auspices of UNESCO (ICHCAP).

Kompetisi film dokumenter ini berlangsung dari Juni hingga November 2024 dengan berfokus pada pelestarian Warisan Budaya Tak Benda melalui medium sinematografi di Yogyakarta, Indonesia, dan Dili, Timor-Leste.


Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved