Pembangunan Infrastruktur Budaya dan Nilai-Nilai Filosofis Sumbu Filosofi

Sumbu Filosofi ini, yang merupakan hasil karya Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, dibangun pada tahun 1755

Penulis: Hanif Suryo | Editor: ribut raharjo
Istimewa
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pembangunan infrastruktur budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus menjadi prioritas untuk mendukung pelestarian Sumbu Filosofi Yogyakarta, sebuah warisan budaya dunia yang memiliki nilai filosofis dan historis yang tinggi. 

Sumbu Filosofi ini, yang merupakan hasil karya Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, dibangun pada tahun 1755 dan menghubungkan sejumlah titik penting di Yogyakarta.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan bahwa Sumbu Filosofi merupakan garis imajiner sepanjang 6 kilometer yang menghubungkan Panggung Krapyak, Kompleks Keraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta. 

Setiap titik memiliki makna filosofis mendalam yang berkaitan dengan siklus kehidupan, harmoni alam, serta hubungan manusia dengan Tuhan, yang dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti.

“Atribut-atribut seperti Panggung Krapyak dan Tugu Yogyakarta tidak hanya sebagai penanda fisik, tetapi juga menggambarkan harmonisasi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” ungkap Dian.

Ia menambahkan bahwa dari ruas sumbu ini, Kota Yogyakarta berkembang menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, dan sosial yang memperkuat identitas budaya masyarakat.

Pemerintah DIY tidak hanya berfokus pada pelestarian fisik bangunan, tetapi juga berupaya untuk merevitalisasi nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam Sumbu Filosofi. 

Salah satu langkah penting adalah penetapan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO, yang diharapkan dapat meningkatkan prestise dan perlindungan terhadap situs ini.

“Kami berharap penetapan ini dapat dimaknai oleh masyarakat tidak hanya di DIY, tetapi juga masyarakat Indonesia dan dunia,” tambahnya.

Sebagai bagian dari upaya pelestarian, Pemerintah DIY menerapkan sistem tata ruang tradisional Jawa, atau Tata Rakiting Wewangunan, dalam pembangunan di sekitar Sumbu Filosofi. 

Hal ini dilakukan untuk menjaga harmoni dengan lingkungan dan melindungi sumbu dari pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya. 

Berbagai regulasi juga telah ditetapkan untuk memastikan bahwa pengembangan kawasan tersebut selaras dengan warisan budaya.

Dian menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga Sumbu Filosofi. Pemerintah dan berbagai organisasi terus melakukan kegiatan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian warisan budaya. 

Dukungan penuh dari pemerintah pusat juga menjadi angin segar bagi upaya ini, yang mencakup pendanaan untuk proyek-proyek revitalisasi dan pengembangan infrastruktur.

Sebagai langkah konkret dalam melibatkan masyarakat, Pemda DIY dan Humas Indonesia meluncurkan Kompetisi Karya Filosofis Kelana Humas Nguri-uri Keistimewaan Jogja.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved