Pakar HI Sebut Serangan Iran ke Israel Bisa Picu Destabilisasi: Timur Tengah Hadapi ‘Cold Peace’

Menurut Ludiro, dinamika di Timur Tengah saat ini masih merupakan kelanjutan dari pola-pola geopolitik yang terbentuk pada era Perang Dingin.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM
Ibu Kota Israel, Tel Aviv digempur ratusan rudal dari Iran pada Selasa (1/10/2024) malam. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Iran meluncurkan kurang lebih 200 rudal balistik ke Israel pada Selasa malam, 1 Oktober 2024.

Rudal tersebut bisa dihalau Israel, tapi setidaknya ada beberapa yang masuk ke Israel bagian tengah dan selatan.

Ini menjadi serangan kedua Iran ke Israel tahun ini, setelah mereka meluncurkan 300 misil dan pesawat nirawak di bulan April 2024.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Hubungan Internasional (HI), Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta (UPNVY), Ludiro Madu, S.IP., M.Si menjelaskan, daerah Timur Tengah itu memang tidak bisa dikatakan damai.

Mereka berada dalam fase yang disebut cold peace atau perdamaian dingin.

Artinya, meskipun tidak ada perang besar yang membahayakan keamanan regional secara langsung, tapi berbagai aksi kekerasan yang terjadi di wilayah itu masih memiliki potensi besar menciptakan destabilisasi regional.

“Ancaman destabilisasi itu ada di Timur Tengah ketika Iran menyerang Israel atau Israel membunuh beberapa pimpinan sekutu Iran,” jelasnya kepada Tribun Jogja, Kamis (3/10/2024).

Menurut Ludiro, dinamika di Timur Tengah saat ini masih merupakan kelanjutan dari pola-pola geopolitik yang terbentuk pada era Perang Dingin.

“Israel didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya, sementara musuh-musuh Israel cenderung mendapatkan dukungan dari Rusia atau memiliki hubungan dekat dengan negara tersebut,” katanya.

Dalam hal ini, Iran dipandang sebagai satu-satunya negara di kawasan yang mampu menyeimbangkan kekuatan Israel, jika Israel tanpa sekutu.

Namun, dukungan kuat dari Amerika Serikat dan Inggris kepada Israel menciptakan kondisi yang asimetris.

“Amerika Serikat dan Inggris sudah menyatakan dukungannya kepada Israel. Kondisi ini sangat asimetris,” tambah Ludiro.

Baca juga: Komentar Presiden Iran Seusai Serangan Rudal ke Israel

Dia menduga, situasi yang memanas di lapangan ini adalah jawaban Israel yang sedang dikucilkan oleh dunia internasional.

Pada 10 September 2024, Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dimulai dan salah satu pembahasannya adalah kemerdekaan Palestina.

Pada 18 September 2024 waktu Amerika, sebanyak 124 negara menuntut agar Israel segera mengakhiri keberadaannya yang melanggar hukum di wilayah Palestina yang diduduki.

Pada 27 September 2024 waktu Amerika, sejumlah negara, termasuk Indonesia melakukan aksi walk out saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York.

“Entah kebetulan atau gimana, apa yang terjadi pada Israel di PBB, seolah-olah Israel dialienasi, itu dibalas Israel di lapangan. Cuma kemudian saya kira, militer Israel sudah prediksi Iran akan membuat balasan,” terangnya.

Dia pun mengingatkan pada dunia tentang dampak perang, salah satunya harga minyak yang mungkin melambung.

Kohesivitas Rendah

Disinggung mengenai tingginya skala destabilisasi, kata Ludiro, negara-negara di Timur Tengah sebenarnya tidak memiliki relasi yang erat.

Kohesivitas antara satu negara dengan lainnya tidak terlalu tinggi. Sehingga, menurutnya, tidak banyak negara yang akan merespons perang Iran-Israel ini.

“Konteksnya adalah aksi bersama melawan Israel itu relatif rendah. Dengan konteks itu, upaya bersama melawan Israel juga kecil kemungkinan,” jelasnya.

Ludiro menambahkan, di situasi saat ini, memburuknya politik keamanan tidak serta merta disertai dengan memburuknya ekonomi.

Dia mencontohkan relasi antara Turkiye dan Israel yang memiliki relasi diplomatik, tapi Turkiye tetap tidak segan mengkritisi Israel sedemikian rupa.

“Situasi sekarang sangat berbeda dengan perang dingin yang clear cut. Pada waktu itu, Indonesia dekat dengan Amerika, dan menutup hubungan dengan China, tapi kalau sekarang, contohnya Australia dan Tiongkok. Australia mengkritisi Tiongkok perihal Hak Asasi Manusia (HAM), tapi relasi ekonomi keduanya tetap berjalan,” bebernya.

Itu juga terjadi dengan hubungan Indonesia dengan Amerika dan Tiongkok.

“Misalnya, Tiongkok lebih menguntungkan, maka pembangunan berjalan dengan Tiongkok, tapi politik keamanan tetap dekat dengan Amerika,” tukas dia. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved