Kata Sosiolog UWM Yogyakarta Terkait Perkelahian Pelajar yang Tewaskan Satu Remaja di Seyegan

Tawuran antarremaja masih akan ada selama remaja itu ingin saling mendominasi dan menjaga eksistensi.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Dok. Istimewa
Ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Perkelahian antarpelajar terjadi lagi di Seyegan, Sleman, Minggu (8/9/2024) dini hari, sekitar pukul 02.00 WIB.

Awalnya, perkelahian itu disebut klitih. Namun, polisi menampik itu adalah klitih dan menyebut tawuran pelajar.

Tawuran itu pun membuat satu remaja, ALF (15), meninggal dunia karena terlibat kecelakaan.

Pihak kepolisian masih mendalami terkait kecelakaan tersebut.

Mengapa perkelahian pelajar masih marak terjadi?

Menurut Sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Dr Mukhijab, M.A, tawuran antarremaja masih akan ada selama remaja itu ingin saling mendominasi dan menjaga eksistensi.

Angel solusine (susah solusinya). Mereka berpikir, menjadi dominan, menjadi penguasa atas teman atau kelompok lain itu sebuah hal yang prestisius,” terangnya kepada Tribun Jogja, Senin (9/9/2024).

Dia menjelaskan, remaja berpikir bahwa cara paling sederhana untuk menguasai orang lain adalah dengan tawuran.

“Mereka itu tidak pernah berpikir, tidak pernah belajar pada teman-teman yang mendahului mereka kalau tawuran itu ada potensi merenggut nyawanya,” terangnya.

Baca juga: Polisi Dalami Fakta Tawuran Pelajar Berujung Kecelakaan Maut di Seyegan Sleman

Apalagi, jiwa muda pasti memiliki energi berlebih dan ego yang tinggi.

Dengan begitu, kata Mukhijab, remaja biasa terpikir untuk membalas kekerasan dengan kekerasan, bukan kasih sayang.

“Dengan berbagai kekerasan, maka mereka merasa bisa berkuasa. Sebaliknya membalas kekerasan dengan kasih sayang, perdamaian, sebagai ekspresi kelemahan dirinya,” ungkapnya.

Mukhijab menilai, tidak terdapat solusi yang definitif untuk mengakhiri kekerasan antarremaja atau pelajar

Dikatakannya, pendekatan preventif dengan pendidikan moral, budi pekerti, agama, sebagai kamuflase saja.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved