Bivitri Susanti soal DPR Tolak Putusan MK: Itu Menganggap Warga Bodoh, Rakyat Marah dan Sakit Hati

Bivitri Susanti mengomentari keputusan DPR RI yang menolak Putusan MK, “Seenak-enaknya diputer-puter, dan akal sehat kita diputar balikk".

DOK. YouTube Kompas TV
Bivitri Susanti saat menjadi pembicara dalam acara “SATU MEJA” di Kompas TV, Rabu (21/8/2024) malam. 

TRIBUNJOGJA.COM – Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengomentari keputusan Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang menolak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal syarat usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

“Percayalah, warga itu merasakan loh, bahwa ini ada yang salah,” kata Bivitri saat menjadi salah satu pembicara dalam acara “SATU MEJA” di Kompas TV, Rabu (21/8/2024).

“Jadi kita itu dalam melihat hukum tata negara, melihat ilmu politik, melihat kekuasaan, ukurannya harus ‘warga ini dapat apa, haknya dipenuhi atau tidak’. Nah, jadi Putusan MK ini kalau kita ukur dari apakah warga bisa dipenuhi lebih baik hak-haknya (maka) progresif,” paparnya, dikutip Tribunjogja.com dari siaran langsung Kompas TV.

Baca juga: Eks Ketua BEM KM UGM: Jokowi Tempatkan Demokrasi di Ujung Tanduk

Baca juga: Catatan Kritis LBH Yogyakarta Terkait Putusan MK dan Langkah Badan Legislatif 

Baca juga: Mengapa Peringatan Darurat dan Tagar Kawal Putusan MK Jadi Viral? Apa Hubungannya dengan Kaesang?

Krisis konstitusional mungkin terjadi

Bivitri Susanti berpendapat, krisis konstitusional dapat terjadi di Indonesia.

“Ini krisis konstitusi lho, karena ini kita serba mentok, ya. Saya sendiri nih ya, sebagai orang hukum, merasa kesulitan, karena semua yang dibolak-balikin, digunakan untuk melegitimasi kekuasaan adalah produk hukum. Persis seperti yang sekarang ini tengah dilakukan,” tuturnya.

Menurutnya, tidak setuju dengan Putusan MK itu boleh. Namun, cara menyatakan ketidaksetujuan bukan dengan DPR membalikkan Putusan MK tersebut.

Bivitri mengatakan, lembaga legislatif tidak boleh mengoreksi Putusan MK.

“Silakan kalau nggak setuju, kritik secara akademik, dan ajukan lagi permohonan. (Jika) mau dikoreksi, MK akan koreksi sendiri, tapi tidak boleh dikoreksi oleh lembaga legislatif. Nah ini yang salah sekali,” ungkapnya.

Rakyat dianggap bodoh

Bivitri Susanti saat menjadi pembicara dalam acara “SATU MEJA” di Kompas TV, Rabu (21/8/2024) malam.
Bivitri Susanti saat menjadi pembicara dalam acara “SATU MEJA” di Kompas TV, Rabu (21/8/2024) malam. (DOK. YouTube Kompas TV)

Sejak Rabu (21/8/2024) siang, usai DPR RI menggelar rapat dan memutuskan untuk menggunakan Putusan MA alih-alih mematuhi Putusan MK, media sosial ramai dengan tagar #KawalPutusanMK, #TolakPilkadaAkal2an, #TolakPolitikDinasti, dan ungkapan Peringatan Darurat.

Sampai artikel ini ditulis, tagar-tagar tersebut masih masuk dalam trending topic X (dulu Twitter).

Bivitri Susanti menilai, hal yang membuat rakyat menjadi marah dan sakit hati adalah keputusan DPR RI yang seakan-akan menganggap rakyat bodoh.

“Intinya kami ini yang nggak punya kekuasaan, yang di DPR sana yang punya kekuasaan, yang punya palu. Nah, kami tuh dianggap seperti bodoh semua begitu loh,” tutur Bivitri.

Sebagai informasi, Putusan MK menyebutkan tentang syarat usia minimum calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, yaitu 30 tahun, terhitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Alih-alih mematuhi Putusan MK, DPR justru pilih mengikuti putusan kontroversial dari Mahkamah Agung (MA).

Berbeda dari Putusan MK, Putusan MA menyebutkan, titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved