Airlangga Mundur dari Ketum Golkar: Konsekuensi Model Kekuasaan Loyalitas Berbasis Insentif
Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar bisa dilihat sebagai peristiwa tunggal atau potret.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
“Kesempatan berkuasa itu adalah insentif, mengambil nikmat, pemburu rente itu juga insentif. Mengambil bancakan, skala kecil atau besar, itu juga insentif yang memang disediakan di kekuasaan Jokowi dan diberikan ke banyak orang agar mereka jadi loyalisnya. Salah satunya adalah orang yang mungkin akan jadi Ketum Golkar saat ini,” beber dia.
Eep turut menyinggung model kekuasaan berbasis penyanderaan, di mana orang-orang yang tidak sepaham dapat dikenakan kriminalisasi untuk menekan loyalitas mereka.
Jokowi, kata Eep, berupaya untuk menyibak kejahatan orang-orang yang memiliki kekejaman tersembunyi.
“Di zaman Soeharto, dia juga mengembangkan langgam ini. Bahkan, ketika dia masih jadi tentara, dia membuat insentif untuk perwira agar loyal padanya. Jokowi ini adalah contoh mutakhir dari langgam kekuasaan seperti Soeharto,” ungkap Eep.
Gaya kekuasaan itu, menurut Eep, membunuh demokrasi yang tumbuh di Indonesia karena demokrasi itu identik dengan kebebasan, partisipasi dan kompetisi.
“Itu membunuh demokrasi, kebebasan dipersempit, kompetisi dihilangkan, partisipasi dipasung. Itu konsekuensi dari langgam ini. Di Golkar, calon ketumnya hanya satu, lihat saja, di dalam partai, kebebasan partisipasi dan kompetisi saja terbunuh,” ungkapnya.
Dia mengibaratkan hal tersebut seperti atlet berlari tapi mengamputasi kaki lawannya agar dia bisa menang.
“Maka, pilihannya adalah membuat demokrasi ini menjadi lebih sehat dengan melawan lewat pemilih, beri vonis dan hukuman. Pada 27 November nanti, itu kesempatan besar untuk menyehatkan demokrasi,” tukasnya.
Kepala PSAD UII, Prof. Masduki menambahkan pentingnya menjaga demokrasi yang tangguh, terutama di tengah tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Ia menekankan bahwa reformasi struktural politik harus terus didorong, terutama oleh generasi milenial, agar demokrasi dapat berkembang dengan baik.
“Perlawanan terhadap kezaliman tidak bisa dilakukan dengan kezaliman, melainkan harus dengan kebaikan,” paparnya.
Diskusi ini mencerminkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia, terutama ketika prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan, partisipasi, dan kompetisi mulai terkikis.
Eep dan Masduki mengingatkan bahwa penting bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dengan bijak, terutama dalam konteks pemilihan umum yang akan datang, untuk menjaga demokrasi tetap hidup dan berkembang. ( Tribunjogja.com )
| Cara Pantau Perkembangan Pembangunan di Klaten Lewat SIDASI |
|
|---|
| Inilah 11 Arti Mimpi Melihat Nabi atau Rasul Menurut Primbon Jawa |
|
|---|
| 8 Arti Mimpi Melihat Matahari Dekat dengan Bulan Menurut Primbon Jawa |
|
|---|
| Ayah di Magelang Pukuli Anak Pakai Selang karena Telat Pulang Ngaji |
|
|---|
| Mengenal Apa Itu Gamagora 7, Varietas Padi Inovasi UGM yang Tahan Iklim dan Kaya Gizi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.