Airlangga Mundur dari Ketum Golkar: Konsekuensi Model Kekuasaan Loyalitas Berbasis Insentif

Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar bisa dilihat sebagai peristiwa tunggal atau potret.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Ardhike Indah
CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah ditemui di Gedung Yayasan Badan Wakaf, UII Yogyakarta, Selasa (20/8/2024). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golongan Karya (Golkar), Sabtu (10/8/2024) lalu menjadi sorotan dalam dinamika politik Indonesia kini.

CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah, menyoroti bahwa pengunduran diri tersebut tidak bisa dilihat sebagai peristiwa tunggal atau potret, melainkan sebagai rangkaian adegan yang menunjukkan dinamika kekuasaan di Indonesia.

“Di tahun 2017, Airlangga jadi Ketum Golkar juga tanpa kontestasi. Bambang Soesatyo kala itu dipaksa mundur dengan mekanisme senyap yang kita tidak akan bisa menghadirkan bukti. Itu jadi pemakluman umum, kemudian Airlangga diantarkan ke kursi itu oleh Presiden Jokowi,” ujar Eep.

Ia mengatakan hal tersebut dalam Srawung Demokrasi #1 berjudul Munaslub Golkar dan Problematika Partai Politik di Indonesia yang digelar Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (20/8/2024) di Gedung Yayasan Badan Wakaf, Jalan Cik Di Tiro Nomor 1, Kota Yogyakarta.

Eep mengatakan, apa yang dirasakan Airlangga kini adalah bentuk ‘keadilan politik’ yang sesuai dengan langgam kekuasaan yang sedang berjalan.

Dia menyoroti bahwa model kekuasaan Presiden Jokowi mengalami perubahan signifikan di termin kedua, dibanding dengan termin pertama.

Salah satu perubahan tersebut adalah pelucutan prinsip etik yang pernah menjadi gaya awal Jokowi memimpin Indonesia.

Ia mencontohkan revsi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di awal termin kedua Jokowi menjabat yang membawa dampak signifikan.

Eep juga mencatat bahwa Jokowi pada awalnya melarang menteri-menteri dalam kabinetnya rangkap jabatan.

Namun, seiring waktu berjalan, Jokowi justru merangkul para pemimpin partai ke dalam kabinetnya atau menjadikan kabinetnya sebagai pemimpin partai.

“Ini adalah pertarungan terpenting antara Joko vs Widodo. Joko adalah Jokowi yang dimitoskan, yang kita pahami dulu dan Widodo adalah sosok Jokowi sekarang,” jelasnya.

Langgam Kekuasaan Loyalitas Berbasis Insentif

Lebih jauh, Eep menggambarkan bahwa Jokowi mengembangkan model kekuasaan yang membentuk loyalitas berbasis insentif, mirip dengan era Orde Baru di bawah kepemimpinan a la Soeharto.

Insentif tersebut bisa berupa jabatan atau kesempatan berkuasa yang membuat individu-individu loyal pada kepemimpinannya.

“Kesempatan berkuasa itu adalah insentif, mengambil nikmat, pemburu rente itu juga insentif. Mengambil bancakan, skala kecil atau besar, itu juga insentif yang memang disediakan di kekuasaan Jokowi dan diberikan ke banyak orang agar mereka jadi loyalisnya. Salah satunya adalah orang yang mungkin akan jadi Ketum Golkar saat ini,” beber dia.

Eep turut menyinggung model kekuasaan berbasis penyanderaan, di mana orang-orang yang tidak sepaham dapat dikenakan kriminalisasi untuk menekan loyalitas mereka.

Jokowi, kata Eep, berupaya untuk menyibak kejahatan orang-orang yang memiliki kekejaman tersembunyi.

“Di zaman Soeharto, dia juga mengembangkan langgam ini. Bahkan, ketika dia masih jadi tentara, dia membuat insentif untuk perwira agar loyal padanya. Jokowi ini adalah contoh mutakhir dari langgam kekuasaan seperti Soeharto,” ungkap Eep.

Gaya kekuasaan itu, menurut Eep, membunuh demokrasi yang tumbuh di Indonesia karena demokrasi itu identik dengan kebebasan, partisipasi dan kompetisi.

“Itu membunuh demokrasi, kebebasan dipersempit, kompetisi dihilangkan, partisipasi dipasung. Itu konsekuensi dari langgam ini. Di Golkar, calon ketumnya hanya satu, lihat saja, di dalam partai, kebebasan partisipasi dan kompetisi saja terbunuh,” ungkapnya.

Dia mengibaratkan hal tersebut seperti atlet berlari tapi mengamputasi kaki lawannya agar dia bisa menang.

“Maka, pilihannya adalah membuat demokrasi ini menjadi lebih sehat dengan melawan lewat pemilih, beri vonis dan hukuman. Pada 27 November nanti, itu kesempatan besar untuk menyehatkan demokrasi,” tukasnya.

Kepala PSAD UII, Prof. Masduki menambahkan pentingnya menjaga demokrasi yang tangguh, terutama di tengah tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini.

Ia menekankan bahwa reformasi struktural politik harus terus didorong, terutama oleh generasi milenial, agar demokrasi dapat berkembang dengan baik.

“Perlawanan terhadap kezaliman tidak bisa dilakukan dengan kezaliman, melainkan harus dengan kebaikan,” paparnya.

Diskusi ini mencerminkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia, terutama ketika prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan, partisipasi, dan kompetisi mulai terkikis.

Eep dan Masduki mengingatkan bahwa penting bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dengan bijak, terutama dalam konteks pemilihan umum yang akan datang, untuk menjaga demokrasi tetap hidup dan berkembang. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved