Resensi Buku: Sistem Zonasi, Upaya Dekonstruksi Sekolah Favorit
Kebijakan zonasi semestinya berpihak pada masyarakat tidak mampu agar memperoleh keadilan dalam mengakses pendidikan.
Jika jaraknya sama, maka kriteria berikutnya adalah usia, sertifikat hasil ujian nasional SMP dan prestasi akademik dan non akademik yang diakui sekolah.
Kriteria domisili mengambil porsi 90 persen dengan kewajiban memberikan daya tampung bagi keluarga tidak mampu paling sedikit 20 persen.
Disediakan pula jalur alasan khusus meliputi perpindahan domisili orang tua dan korban bencana alam atau sosial sebanyak 5 persen.
Sedangkan untuk mereka yang berprestasi disediakan porsi paling banyak 5 persen.
Pada regulasi ini, Kemendikbud membuka pintu seluasnya bagi pemerintah daerah untuk menetapkan radius zona terdekat.
Permendikbud ini sempat mengalami perubahan dua kali di tahun 2018. Perubahan pertama berkaitan dengan penekanan kebijakan radius yang harus berasaskan objektivitas, transparansi, akuntabilitas, berkeadilan dan non diskriminatif.
Perubahan kedua terkait dengan lama domisili yang awalnya enam bulan menjadi satu tahun. Perubahan ini berangkat dari peristiwa orang tua yang memindahkan domisili mendekati sekolah, padahal kenyataannya tidak tinggal di daerah tersebut.
Revisi kebijakan kembali terjadi di tahun 2019. Kali ini sifatnya tidak lagi minor. Atas desakan para orang tua siswa, Kemendikbud mengubah kuota jalur prestasi yang semula sebanyak-banyaknya 5 persen menjadi 15 persen dari daya tampung sekolah.
Kebijakan ini tentu saja berdampak pada pengurangan kuota jalur zonasi yang semula 90 persen menjadi paling sedikit 80 persen (hal 44).
Adaptasi Inovasi
Fokus utama buku ini terletak pada penyikapan Pemda DIY terhadap Permendikbud. Disdikpora DIY menerbitkan peraturan yang tidak sepenuhnya menjalankan petunjuk teknis dari pusat.
Pada zonasi tahun 2019, Pemda DIY menginisasi inovasi terkait dengan zonasi berdasar ukuran jarak. Pemda mengubah penerapan zonasi dari tahun sebelumnya, dari pendekatan radius berbasis jarak kelurahan-sekolah dengan memberikan pilihan tiga sekolah menjadi pendekatan populasi jumlah calon peserta didik dalam satu kelurahan dan hanya memberikan satu pilihan kepada calon peserta didik.
Perubahan ini memantik resistensi. Bagi sebagian orang tua calon siswa, khususnya mereka yang menempati kelompok menengah ke atas, sistem zonasi dianggap mengganggu kemapanan dan impian mereka tentang sekolah favorit yang berkualitas.
Cara ini dipandang tidak menghadirkan keadilan akses karena sekolah yang dipilih tidak benar-benar yang terdekat dari tempat tinggal mereka.
Protes yang dilayangkan ke beberapa pihak, baik melalui Ombudsman Perwakilan DIY maupun DPRD DIY, akhirnya melebar ke gugatan jumlah kuota jalur prestasi.
Kuota 5 persen dianggap membatasi kesempatan dan merusak semangat anak-anak berprestasi untuk mendapatkan sekolah yang dikehendaki.
Dispussip Kulon Progo Bantu Promosikan Buku Karya Penulis Lokal Lewat Program Bedah Buku |
![]() |
---|
Kata Sebagai Ruang Temu |
![]() |
---|
Promosikan Kuliner Kulon Progo Warisan Budaya Tak Benda Gula Kethak Lewat Bedah Buku |
![]() |
---|
SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta Bedah Buku 'Laut Tengah', Ajak Siswa Apresiasi Karya Sastra |
![]() |
---|
Bedah Buku Praksis Pancasila di FEB UGM, Bagaimana Ideologi Itu Bisa Diterapkan di Perusahaan? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.