Sampai Kapan Fenomena Bediding Terjadi di Yogyakarta? Begini Jawaban BMKG

Sampai kapan udara dingin akan terasa di Yogyakarta? Berikut penjelasan dan prediksi dari BMKG

KOMPAS.COM/DOK APLIKASI CUACA DIENG
Embun es di dataran tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (19/6/2024) pagi. 

TRIBUNJOGJA.COM - Udara dingin, bahkan hingga mencapai suhu 19 derajat Celcius sedang dirasakan di DI Yogyakarta.

Apakah Tribunners juga merasakan itu juga? Mengapa udara dingin ini bisa terasa di Yogyakarta?

Sampai kapan udara dingin akan terasa?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY memprediksi kondisi ini bakal terjadi hingga Agustus mendatang.

Cuaca dingin ini sering disebut dengan bediding. Bediding adalah kondisi saat puncak musim kemarau terjadi yang mengakibatkan suhu udara lebih dingin, terutama saat malam hari.

Kepala Stasiun Meteorologi BMKG DIY, Warjono mengatakan, atas hasil monitoring yang dilakukan selama 10 hari mulai dari tanggal 5 Juli hingga 14 Juli, suhu udara di DIY berkisar 19 hingga 23 derajat celsius.

Sedangkan, untuk kelembapan udara permukaan minimum di DIY mencapai 47 hingga 51 persen.

Baca juga: Fenomena Bediding Mulai Dirasakan di DIY dan Sekitarnya, Ini Penjelasan BMKG

“Diperkirakan kondisi tersebut (bediding) berlangsung hingga Agustus mendatang,” ujar Warjono mengutip Kompas.com, Selasa (16/7/2024).

Dia menjelaskan, penyebab dari cuaca dingin ini yakni adanya pergerakan massa udara dari Australia dengan membawa massa udara dingin dan kering ke Asia melewati Indonesia, atau disebut dengan Monsoon Dingin Australia.

Selain itu, saat musim panas tutupan awan relatif sedikit dan pantulan panas dari bumi yang diterima dari sinar matahari tidak tertahan awan, tetapi langsung terlepas dan hilang ke angkasa.

Kandungan air di dalam tanah menipis, kandungan uap air di udara juga rendah sehingga membuat kelembapan udara rendah.

“Pada malam hari gunakan selimut atau pakaian tebal. Menggunakan krim atau pelembap kulit, supaya kulit tidak terlalu kering,” kata dia.

Ia menambahkan, cuaca terendah di DIY pada musim bediding pernah tercatat di angka 17 derajat celsius pada 5 Agustus 2008.

Sementara, Ketua Tim Kerja Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ida Pramuwardani mengatakan, fenomena bediding ditandai dengan suhu udara yang turun drastis pada malam hingga dini hari.

Istilah bediding sendiri berasal dari kata serapan Bahasa Jawa bedhidhing yang artinya perubahan suhu mencolok, khususnya di awal musim kemarau.

Ida menjelaskan, perubahan suhu itu bahkan bisa mencapai titik beku.

Baca juga: Suhu Dingin di Yogyakarta Capai 19 Derajat Celcius, BMKG Prediksi Berlangsung hingga Agustus

"Fenomena bediding umum terjadi di Indonesia. Puncaknya terjadi pada musim kemarau terutama pada Juli sampai September," kata Ida, saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (4/7/2024).

Dalam konteks klimatologi, fenomena ini merupakan hal yang normal karena berkaitan dengan kondisi atmosfer saat musim kemarau.

Berikut sejumlah fakta tentang bediding:

1. Disebabkan karena empat faktor

Lebih lanjut, Ida menerangkan, fenomena bediding disebabkan karena 4 faktor, yaitu udara kering, langit cerah, dan topografi.

Selama musim kemarau, hujan jarang terjadi sehingga langit menjadi lebih cerah.

Menurutnya, langit cerah pada malam hari menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa hambatan.

Ini mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan.

Dengan curah hujan yang kurang, kelembapan udara menjadi rendah. Artinya, uap air di dekat permukaan Bumi juga sedikit.

"Pada musim kemarau, udara cenderung lebih kering karena kurangnya uap air. Udara kering memiliki kapasitas panas yang lebih rendah sehingga lebih cepat kehilangan panas pada malam hari," terang Ida.

Bersamaan dengan kondisi langit yang cenderung bersih dari awan, panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke atmosfer luar.

Akibatnya, udara di dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi hari.

2. Ketiadaan angin hambat percampuran udara

Selain itu, fenomena bediding juga dipicu karena ketiadaan angin yang menghambat percampuran udara.

Akibatnya, udara dingin tetap terperangkap di dekat permukaan bumi.

Pada daerah dataran tinggi atau pegunungan, memasuki musim kemarau akan lebih dingin karena tekanan udara yang lebih rendah dan kelembapan udara yang lebih sedikit.

3. Umum terjadi di Indonesia

Fenomena bediding umum terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah yang berdekatan dengan khatulistiwa hingga bagian utara.

Pada wilayah ini, meski pagi hari cenderung lebih dingin, udara siang hari akan terasa lebih panas.

Pasalnya, ketiadaan awan dan kurangnya uap air saat musim kemarau menyebabkan radiasi langsung Matahari akan lebih banyak yang mencapai permukaan bumi.

Menurut Ida, fenomena bediding pada Juli 2024 sudah melanda daerah dataran tinggi di Indonesia, khususnya bagian selatan.

"Fenomena bediding terjadi di daerah dataran tinggi di Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Jawa, Bali sampai Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT)," ungkap Ida.

 

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved