Subak Pulagan, Warisan Leluhur yang Lestari di Bali

Subak Pulagan merupakan sebuah sistem irigasi tradisional di Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, yang telah ada sejak abad ke-11. 

Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Hanif Suryo
Kunjungan Pemda DIY ke Subak Pulagan di Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, Selasa (28/5/2024) 

TRIBUNJOGJA.COM - Subak Pulagan merupakan sebuah sistem irigasi tradisional di Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, yang telah ada sejak abad ke-11. 

Sistem ini merupakan bagian dari kompleks Subak Pakerisan, yang diakui oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Budaya Dunia pada tahun 2012. 

Subak Pulagan bukan sekadar sistem irigasi biasa, tetapi juga merupakan manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Baca juga: UMY Career Fair 2024, Jadi Upaya Menekan Angka Pengangguran

Sistem ini dikelola oleh krama subak, yaitu sekelompok petani yang bekerja sama untuk memelihara dan mengelola air irigasi.

Adapun beberapa keunikan dan nilai penting Subak Pulagan di antaranya menggunakan sistem irigasi yang canggih dan kompleks, dengan memanfaatkan sumber air dari mata air Tirta Empul yang suci. 

Sistem ini mampu mendistribusikan air secara adil dan merata ke seluruh sawah di wilayah subak. 

Subak Pulagan juga mencerminkan kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengelola sumber daya alam dengan berkelanjutan. 

"Kearifan lokal ini diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi bagian penting dari identitas budaya Bali," terang Pekaseh atau yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan irigasi di Subak Pulagan, Sang Nyoman Astika.

Ditambahkannya, Subak Pulagan memiliki nilai spiritual yang tinggi bagi masyarakat Bali. Air irigasi dianggap sebagai air suci yang berasal dari Dewa Wisnu.

Oleh karena itu, pengelolaan air irigasi di Subak Pulagan dilakukan dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab. 

Subak Pulagan juga berperan penting dalam mendukung perekonomian masyarakat Bali. Sistem irigasi ini memungkinkan para petani untuk menanam padi secara berkelanjutan dan menghasilkan panen yang melimpah. 

Lebih lanjut, Sang Nyoman Astika, Pekaseh yang telah mengabdi selama 20 tahun, menjelaskan bahwa subak ini meliputi area persawahan seluas 95 hektare.

Setiap langkah dalam mengolah sawah, mulai dari penanaman hingga panen, selalu diawali dengan upacara adat. 

Hal ini merupakan tradisi turun temurun yang mencerminkan rasa hormat terhadap alam dan leluhur, serta menjadi simbol ketahanan pangan dan kelestarian budaya bagi masyarakat setempat.

"Itu sudah aturan dan turun temurun dilaksanakan karena Subak ini jadi ketahanan pangan warga dan juga pelaksanaan upacara adat," katanya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved